CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

1234Next
Return to list New
View: 18534|Reply: 79

Mengapa Rakyat Aceh 'Berontak'?

[Copy link]
akmala This user has been deleted
Post time 12-7-2007 01:01 PM | Show all posts |Read mode
Nih ane ambik dari forum lain.


Mengapa Rakyat Aceh 'Berontak'?


Rakyat Aceh Menarik Kembali Janjinya, Bukan Berontak


Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan muruah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai "Negara" yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifahan Turki Utsmani pun menganggap Aceh Darussalam sebagai bagiannya, protektorat.

Sedang istilah "Indonesia" sendiri baru saja lahir di abad ke-

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


akmala This user has been deleted
 Author| Post time 12-7-2007 01:02 PM | Show all posts
Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga din rakyat Aceh. Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung. Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.

Sudah terlalu banyak buku-buku sejarah yang mengulas tentang penindasan pemerintah Jakarta terhadap rakyat Aceh, baik di masa rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Cara pandang kedua penguasa ini terlalu "Majapahitisme", semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan. Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya amat banyak mempergunakan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 12-7-2007 01:03 PM | Show all posts
Jadi Tumbal Rezim "Majapahitisasi" Orde Baru

Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah "Sabda Pandhita Ratu" yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk "mencicipi keperawanan" setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki. Hal ini sangat bcrtentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah diatur dalam `Konstitusi Negara" Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.

Ada satu episode sejarah Aceh yang mencatat betapa seorang Sultan di Aceh tidak bisa berbuat sekehendak hatinya. Adalah Sultan Iskandar Muda memiliki seorang putera mahkota bernama Meurah Pupok. Pada akhir masa pemerintahannya, Meurah Pupok yang merupakan putera mahkota satu-satunya ini tertangkap basah tengah berzina dengan isteri seorang perwira muda, pelatih angkatan perang Aceh. Saat itu, perwira muda itu pulang dari tempat latihannya (Blang Peurade) menuju rumah. Setibanya di rumah, didapatinya sang isteri tercinta tengah berzina dengan Meurah Pupok. Betapa hancur hati sang perwira. Dengan amarah yang meluap, dicabutnya pedang yang terselip di pinggang dan dibunuhlah sang isteri yang sangat disayanginya itu. Sedang sang putera mahkota langsung melarikan diri.

Setelah menghabisi nyawa sang isteri, perwira muda itu bersama sang mertua pergi menghadap Sultan Iskandar Muda. Mendengat berita itu, Sultan segera memerintahkan Sri Raja Panglima Wazir (Menteri Kehakiman) sesegera mungkin menyelidiki hal tersebut. Meurah Pupok akhirnya menghadap ayahandanya dan mengakui segala perbuatannya itu. Dengan berat hati, Sultan Iskandar Muda menjatuhkan hukuman rajam hingga meninggal terhadap putera mahkota satu-satunya itu di depan umum, sesuai dengan hukum syariah.

Usai melakukan hukuman, Sultan Iskandar Muda jatuh sakit. Para pembantunya menanyakan kepada Sultan mengapa sampai hati dia menjatuhkan hukuman rajam seperti itu kepada anak lelaki satu-satunya itu. Dengan lemah, Sultan Iskandar Muda menjawab, "Mate aneuk na jirat, mate adapt ho tamita," (Mati anak ada makamnya, tapi kalau hukum yang mati kemana akan dicari?" Setelah lebih sebulan sakit, pada 27 Desember 1646 Sultan Iskandar Muda akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Inilah bukti keadilan dalam Islam. [A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet. 1, 1977, hal. 44-45]
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 12-7-2007 01:03 PM | Show all posts
Ketika Suharto berkuasa dengan menggulingkan Soekarno lewat sebuah konspirasi, pemerintah menyiapkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di mana Aceh hendak dijadikan lumbung padi Indonesia. Lahan-lahan pertanian di Aceh pun dibuka dan ditata agar bisa menghasilkan padi dengan kualitas terbaik. Tahun 1971 di Kabupaten Aceh Utara di temukan harta karun berlimpah berupa cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, sebuah perusahaan tambang Amerika Serikat, menemukan itu dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri. Kini oleh rezim Orde Baru diserahkan ke Amerika Serikat.

Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara. Menjelang akhir dasawarsa 1980-an Aceh sudah menyumbang 30 persen dari seluruh ekspor minyak dan gas Indonesia. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia. [Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992, Publication No. 74, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca (1995)]

Suharto sangat paham bahwa kekayaan alam di Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah tidak berdaya. Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di seluruh Indonesia.  ( Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri. [Hasil survey BPS tahun 1993]

Kondisi ini diperkeruh oleh pertambahan penduduk sebesar 50% pada periode 1974-1987. Di sekitar tiga kecamatan ZIL, pertumbuhan penduduk bahkan mencapai 300% dalam periode sama. Pada 1992 hampir 25% penduduk provinsi Aceh bermukim di sekitar ZIL. Mereka meninggalkan ladang-ladang dan kebun yang tidak lagi produktif, mencari lokasi yang memungkinkan mereka untuk sekadar bertahan hidup.

Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, "Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh."

Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, "ada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh."
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 12-7-2007 01:05 PM | Show all posts
Operasi militer pertama Republik Indonesia atas Aceh dilakukan atas instruksi Bung Karno di tahun 1953. Empat tahun operasi militer berlangsung namun rakyat Aceh tak juga berhasil ditundukkan. Merasa tak bisa menang, akhirnya pada 1957 Bung Karno mengembalikan status provinsi kepada Aceh. Dua tahun kemudian, pada 1959, Aceh diberi status Daerah Istimewa yang berhak mengatur sendiri urusan agama, hukum adat, dan pendidikannya. Ini memuaskan sebagian ulama PUSA. Daud Baureueh dan pengikutnya bertahan hingga 1962. Mereka sudah tidak lagi percaya kepada Bung Karno.

Di masa rezim Orde Baru, Suharto membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik (tentunya dalam pengertian pembangunan bagi keluarga dan kroninya, dan stabilitas bagi kelangsungan hal tersebut). Dengan kacamata kuda yang "sentralistik-Majapahit", Suharto mengangap sama semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan "Majapahit". Status "istimewa" Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam ,UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer dipindahkan ke Medan.

Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya ... Lalu masih adakah orang yang sangat  sangat bebal yang masih saja bertanya, "Mengapa rakyat Aceh berontak?" Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!

Seperti yang telah diucapkan seorang petani di ladang cabai yang telah kering di daerah Padangtji, dekat Sigli, di tahun 2001. Kepada penulis [Rizki Ridyasmara], petani tua yang telah kehilangan anak isterinya akibat ditembak mati orang tak dikenal di hutan, mengeluh, "Kemerdekaan ini bagi kami terasa begitu pahit..." Bagi siapa pun yang mengenal sejarah panjang Aceh Darussalam, maka kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Republik Indonesia sebenarnya merupakan sebuah pengorbanan tersendiri. Tanpa bergabung, rakyat Aceh berabad-abad lalu telah punya konstitusi, telah punya badan seperti MPR/DPR, telah makmur dan sejahtera hidupnya, telah maju ilmu pengetahuannya. Kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan RI adalah suatu pengorbanan.


Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di Serambi Mekah, Pustaka al-Kautsar, cetakan pertama, Mei 2006

Wallahua'lam


Source
Reply

Use magic Report

Post time 12-7-2007 06:14 PM | Show all posts

Reply #1 akmala's post

Orang Aceh beranggapan bahawa Indonesia adalah milik suku Jawa saja...
tidak hairanlah mengapa segala hasil kekayaan bumi di wilayah lain di Indonesia dibawa terus ke Pulau Jawa..


Suku2 lain seperti Aceh, Melayu, Dayak, Banjar dan lain-lain merasakan mereka tersisih...
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini memerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan terus berdaulat di Pulau Jawa membuktikan suku Jawa memiliki keistimewaan yang tidak dapat dimiliki oleh suku2 yang lain...
mengapa
hanya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berdarah Jawa saja yang terus berdaulat sedangkan kesultanan-kesultanan dan raja2 yang lain di wilayah Indonesia sudah hilang daulatnya?

Kita di Malaysia sendiri tahu bahawa orang Aceh di Sumatera tidak berminat untuk terus berada di dalam Indonesia....
Penduduk Timor Timur, Aceh, Papua Barat/Irian Jaya, Riau dan beberapa tempat lagi di Indonesia sudah bosan berada di dalam Indonesia...
Mereka inginkan kemerdekaan demi membela nasib bangsa mereka...
Lihatlah Timor Timur yang kini sudah merdeka dari Indonesia...
Indonesia hampir kehilangan Aceh dan di Papua Barat pula sedang berlaku pemberontakan terhadap kerajaan Indonesia...

Semua ini kerana kesilapan pemerintahan Indonesia itu sendiri....
jurang perbezaan antara suku jawa dan bukan suku jawa itu sgt besar dan luas...
suku Jawa menikmati keistimewaan yang lebih berbanding suku2 lain di Indonesia...

Soalnya sekarang, mengapa perlu ada istilah 'Jawa dan bukan Jawa?'
apa bezanya suku Jawa dengan suku Aceh, Melayu, Dayak, Banjar dan lain2 sedangkan mereka semuanya punya satu persamaan - mereka adalah penduduk Pribumi Indonesia dan dari satu rumpun Melayu yang besar...

Indonesia perlu mencontohi Malaysia dan Brunei yang menyatu-padukan semua penduduk pribumi masing-masing di bawah nama 'kaum Bumiputera'...
Indonesia harus menghentikan diskriminasi antara suku2 di Indonesia dan menyatu-padukan mereka, bukan menjarakkan mereka...


[ Last edited by  ijad_adiputera at 12-7-2007 06:16 PM ]

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 12-7-2007 08:33 PM | Show all posts
Hahahaha.......

Gak perlu dikomentari lagi sebab sudah sangat jelas dan gamblang disebut di artikel tersebut mengapa ada gerakan separatisme di Aceh .... Tapi sekarang udah damai kok ....  

Tidak seperti negara lain, bibit-bibit separatisme di Indonesia timbul akibat "Perlakuan" sewenang-wenang pemerintah pusat (terutama pada masa Suharto) kepada daerah ... Ingat bukan hanya Aceh saja yang menderita, tapi juga daerah-daerah lainnya di Indonesia ...

Pola ketidak-adilan antara Pusat dan Daerah inilah yang kemudian diperbaiki setelah Suharto berhasil ditumbangkan pada tahun 1998 (Gerakan Reformasi) .... ..Proses reformasi dan demokratisasi sesungguhnya sudah berjalan dijalur yang benar tapi  sayangnya hingga saat ini masih mencari bentuk yang pas dan dinilai bejalan lamban .... Jadi wajarlah jika hingga kini masih terjadi ketidak-puasan dan  konflik disana sini ....

Istilah jawa dan bukan jawa adalah istilah jaman dulu dan sekarang sudah gak dibicarakan lagi di Indonesia sebab semua orang Indonesia (apapun suku dan agamanya) mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia.....

Ingat proses asimilasi dan integrasi penduduk Indonesia hingga kini jauh lebih baik dan maju jika dibandingkan dengan Malaysia .... Banyak orang Cina di Malaysia yang masih lebih bangga menjadi orang Cina sedangkan orang Cina di Indonesia sebaliknya ....

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report

Post time 12-7-2007 10:37 PM | Show all posts
Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 08:33 PM
Gak perlu dikomentari lagi sebab sudah sangat jelas dan gamblang disebut di artikel tersebut mengapa ada gerakan separatisme di Aceh.... Tapi sekarang udah damai kok ....


Iya. Memang sudah damai tapi apa kamu pikir bahwa pikiran orang Aceh terhadap kerajaan Indonesia juga sudah berubah? Mereka sendiri tidak yakin dengan kerajaan Indonesia kerana mereka bimbang kerajaan Indonesia akan mungkir janji mereka. We just wait and see what happend then...

Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 08:33 PM
Istilah jawa dan bukan jawa adalah istilah jaman dulu dan sekarang sudah gak dibicarakan lagi di Indonesia sebab semua orang Indonesia (apapun suku dan agamanya) mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia.....


Itu kata kamu tapi kata orang Aceh dan suku Indonesia lain di Malaysia, mereka kata istilah Jawa dan bukan Jawa itu masih wujud tapi secara halus...

Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 08:33 PM
Ingat proses asimilasi dan integrasi penduduk Indonesia hingga kini jauh lebih baik dan maju jika dibandingkan dengan Malaysia .... Banyak orang Cina di Malaysia yang masih lebih bangga menjadi orang Cina sedangkan orang Cina di Indonesia sebaliknya


Untuk pengetahuan kamu, Malaysia TIDAK mengamalkan proses asimilasi kerana itu sudah melanggar hak asasi manusia dan menghapuskan identiti kaum/suku lain. Kami sejak kecil diajar untuk menghormati agama, budaya, bahasa dan adat kaum lain. Malaysia hanya mengamalkan proses INTEGRASI antara kaum dan suku di Malaysia...

Agama rasmi Malaysia ialah Islam. Bahasa rasmi ialah bahasa Melayu atau Bahasa Malaysia. Budaya nasional Malaysia berdasarkan budaya orang Bumiputera Malaysia. Namun begitu, semua warganegara Malaysia tidak kira kaum, suku atau keturunan bebas mengamalkan agama, bahasa, budaya dan adat mereka. Orang Cina di Malaysia panggil diri mereka sebagai "Malaysian Chinese" dan pada masa yang sama mereka juga adalah Bangsa Malaysia. Saya sendiri orang Melayu tetapi pada masa yang sama saya juga Bangsa Malaysia. Ini barulah namanya integrasi dan kerana proses integrasi inilah, Malaysia aman dan maju hingga kini. Kami tiada pergaduhan antara kaum dan suku seperti di Indonesia...

Apakah kamu tahu bahawa orang Cina-Indonesia yang datang ke Malaysia sudah fasih berbahasa Mandarin dalam masa setahun saja? Ini menunjukkan mereka tidak dibenarkan untuk mempraktiskan budaya dan bahasa mereka di Indonesia kerana proses asimilasi. Itulah sebabnya kenapa kami di Malaysia tidak mengamalkan proses asimilasi. Bagi kami sudah cukuplah mengamalkan proses integrasi. Biar hasilnya lambat, asalkan hasilnya memuaskan...

[ Last edited by  ijad_adiputera at 12-7-2007 10:42 PM ]
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 12-7-2007 10:49 PM | Show all posts
Iya. Memang sudah damai tapi apa kamu pikir bahwa pikiran orang Aceh terhadap kerajaan Indonesia juga sudah berubah? Mereka sendiri tidak yakin dengan kerajaan Indonesia kerana mereka bimbang kerajaan Indonesia akan mungkir janji mereka. We just wait and see what happend then...

Itu kata kamu tapi kata orang Aceh dan suku Indonesia lain di Malaysia, mereka kata istilah Jawa dan bukan Jawa itu masih wujud tapi secara halus...


Hahahaha... PakCik dapat info dari mana sehingga dapat mengambil kesimpulan seperti ini .... Janganlah sembarangan mengambil kesimpulan jika hanya mendengarkan omongan satu dua orang Indonesia saja ...

Perlu Pak Cik ketahui, saya adalah juga orang Aceh牋dan saat ini masih ada keluarga dari pihak ayah yang masih tinggal di kota Sigli (Aceh)

Orang Cina di Malaysia panggil diri mereka sebagai "Malaysian Chinese" dan pada masa yang sama mereka juga adalah Bangsa Malaysia.


Kok beda yah dengan cerita    rekan-rekan    kerja saya yang orang Cina Malaysia sewaktu saya tinggal    di Australia dan Singapura.... Hampir semuanya     gak mau balik ke Malaysia爇arena爂ak爐ahan燿engan爏ikap爎asialisme爌ihak爇erajaan爉alaysia ..... Apakah mereka itu semua pembohong dan pendusta ???

[ Last edited by  jf_pratama at 12-7-2007 10:02 PM ]
Reply

Use magic Report

Post time 13-7-2007 12:16 AM | Show all posts
Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 10:49 PM
Hahahaha... PakCik dapat info dari mana sehingga dapat mengambil kesimpulan seperti ini .... Janganlah sembarangan mengambil kesimpulan jika hanya mendengarkan omongan satu dua orang Indonesia saja ...

Perlu Pak Cik ketahui, saya adalah juga orang Aceh  dan saat ini masih ada keluarga dari pihak ayah yang masih tinggal di kota Sigli (Aceh)


Pada pandangan saya, mungkin kamu ini adalah orang Aceh yang tinggal di luar wilayah Aceh. Kamu sendiri tidak bersimpati dengan nasib orang-orang kamu sendiri.

Untuk pengetahuan kamu juga, walaupun dari segi undang-undang Malaysia saya dianggap sebagai orang Melayu tetapi asal-usul keluarga ayah saya adalah orang Aceh dari Lhokseumawe dan saya masih punya saudara-mara dan keluarga di sana.

Saya sendiri pernah ke Aceh dan melihat kemiskinan di wilayah Aceh. Bagaimana Aceh yang kaya dengan petroleum itu begitu miskin sekali? dan untuk pengetahuan kamu juga, saya tidak akan membuat kesimpulan sewenang-wenangnya tanpa mengkaji terlebih dulu..

Originally posted by jf_pratama at 12-7-2007 10:49 PM
Kok beda yah dengan cerita    rekan-rekan    kerja saya yang orang Cina Malaysia sewaktu saya tinggal    di Australia dan Singapura.... Hampir semuanya gak mau balik ke Malaysia karena gak tahan dengan sikap rasialisme pihak kerajaan malaysia..... Apakah mereka itu semua pembohong dan pendusta ???


Apakah kamu sudah bertanya kepada mereka jika mereka sudah menggugurkan kerakyatan Malaysia? Saya pasti mereka belum gugurkan kerakyatan mereka walaupun mereka kini sudah menetap di Australia....

Apakah kamu tahu bahawa 80% penduduk Singapura adalah orang Cina? Maka, tidak menghairankan jika mereka mengatakan pihak kerajaan malaysia bersikap rasialisme.. sedangkan di Singapura sendiri, orang Melayu di sana ditekan dengan teruk kerana kerajaan Singapura bersikap rasialisme...

Apakah kamu tahu bahawa Malaysia jauh lebih baik dari UK, Amerika dan Australia?Jika kamu sudah menjadi warganegara UK, Amerika atau Australia, kamu tetap dilayan sebagai "2nd class group people" kerana mereka pandang hina pada orang Asia...

Jika benar kerajaan malaysia bersikap rasialisme, sudah tentu Malaysia sekarang sedang berperang dan tidak aman...
Seperti yang kamu katakan pada saya, "Janganlah sembarangan mengambil kesimpulan jika hanya mendengarkan omongan satu dua orang Malaysia saja ..."

P/S: Please dont call me 'pakcik' because i'm just  21 years old...

[ Last edited by  ijad_adiputera at 13-7-2007 12:20 AM ]
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 13-7-2007 02:22 AM | Show all posts
Sumbangan Perjuangan Rakyat Aceh Mempertahankan Kemerdekaan


Daerah Modal Bagi Perjuangan RI

Di Aceh, para ulama menyerukan agar rakyat bersama-sama bahu-membahu menghadang tentara Belanda yang hendak menjajah kembali. Rakyat Aceh bukan saja siaga mempertahankan Tanah Rencong, tetapi juga mengambil inisiatif untuk memerangi Belanda di perbatasan selatan, yakni di Medan yang kala itu dikenal sebagai front Sumatera Timur (Medan Area). Ribuan laskar Aceh mengalir dari pesisir Barat dan Timur serta dari dataran tinggi Gayo lewat Kutacane ke Medan Area guna berjuang mati-matian menghadang Belanda yang hendak menembus Aceh lewat Medan.

Berkarung-karung beras dikirim dari Aceh menuju kantong pertahanan republik di front Sumatera Timur. Ribuan lembu dan kerbau, ribuan karung emping dari beras dan melinjo, dan seluruh logistik yang ada mengalir deras dari Serambi Mekkah ke Medan Area. Demikian pula aneka senjata, mortar, dan amunisi. Dan berbagai keterangan, bantuan logistik dari Aceh ternyata mengalir juga untuk front Tapanuli dan Sumatera Barat. Pertempuran di Medan Area berlangsung dengan amat dahsyat. Ribuan perempuan, anak-anak kecil, dan orangtua mengungsi ke Aceh. Di Aceh, mereka disantuni dengan amat baik dan dianggap sebagai sanak
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 13-7-2007 02:22 AM | Show all posts
Ketika pusat pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh dan Bung Karno-Bung Hatta ditawan Belanda, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan dunia internasional terputus. Suara RRI Yogyakarta yang selama ini menyiarkan gegap-gempita perjuangan mempertahankan kemerdekaan ke dunia dibungkam Belanda. Di saat yang genting ini, peran penting RRI Yogyakarta dengan cepat diambil-alih oleh RRI Kutaraja (Banda Aceh). Dan Kutaraja inilah kaum republik melawan propaganda Belanda yang disiarkan lewat corong stasiun radio di Medan dan Jakarta.

Lewat dua corong radio yang dikuasainya, Belanda dengan amat gencar melancarkan perang urat syaraf dan propaganda ke seluruh dunia bahwa apa yang dinamakan sebagai Republik Indonesia sebenarnya tidak pernah terbentuk, dan apa yang dinamakan perlawanan rakyat dan tentara Indonesia hanyalah perlawanan gerombolan pengacau bersenjata yang sama sekali tidak terorganisir. Para pemimpin pergerakan Indonesia amat gusar dengan propaganda Belanda ini. Namun mereka juga paham bahwa republik hanya punya satu buah pemancar radio di Kutaraja. Jelas ini tidak seimbang melawan propaganda Belanda.

Untuk itu maka para pemimpin pergerakan rakyat Aceh berinisiatif untuk membangun satu lagi pemancar radio dengan jangkauan sinyal yang jauh lebih kuat. Akhirnya setelah berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka dengan mempergunakan speedboat, sebuah pemancar radio berkekuatan satu kilowatt berhasil diselundupkan ke Aceh dari Malaya. Pemancar ini diserahkan di bawah pengawasan Tentara Divisi X pimpinan Kolonel Husin Yusuf. Awalnya pemancar baru ini ditempatkan di Krueng Simpo, lebih kurang 20 kilometer dari Bireun arah ke Takengon, Aceh Tengah, namun atas perintah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Muhamad Daud Beureueh, pemancar itu dipindahkan ke Cot Goh, tidak jauh dari Banda Aceh. Namun karena Belanda yang agaknya terusik dengan siaran radio ini sering membombardir wilayah sekitarnya, maka pemancar ini pun dipindahkan lagi ke tempat yang dinilai lebih aman yang disebut Rimba Raya, sekitar 62 kilometer dari Bireun ke arah Takengon. Inilah Radio Rimba Raya dengan signal calling 19, 15 dan 16 meter. Mengudara tiap hari pukul 17.00 wib hingga subuh dengan mempergunakan bahasa Indonesia, Inggris, Cina, Belanda, Arab, dan Urdu.
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 13-7-2007 02:22 AM | Show all posts
Selain itu, dibentuk pula PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang awalnya berkedudukan di daerah pegunungan Bukittinggi, Sumatera Barat, tetapi karena keamanannya dianggap kurang kondusif maka dipindahkan ke Banda Aceh. Staf Angkatan Laut dan Udara juga bermarkas di tempat yang sama.

Yang tidak diketahui khalayak luas, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI, Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, seluruhnya ditanggung oleh rakyat Aceh. Bahkan misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh. Semua itu dilakukan rakyat Aceh dengan ikhlas karena tahu bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan termasuk amalan jihad fisabililah yang sangat tinggi nilai pahalanya.
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 13-7-2007 02:23 AM | Show all posts
Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh. Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama Seulawah yang berarti "Gunung Emas".

Latar belakang pembelian dua pesawat ini sungguh-sungguh mengharukan. Pada bulan Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, "Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau." Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat.

Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram. Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko. Setelah memakan waktu sekitar tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948. Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas. Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana keberadaannya hingga kini. [Sejarah Perjuangan Indonsia Airways]

Bulan November 1948, Bung Hatta berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan. Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah selesai dirawat. Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan, maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di Ranggon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah air melewati rute Ranggon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian Airways.
Reply

Use magic Report

akmala This user has been deleted
 Author| Post time 13-7-2007 02:23 AM | Show all posts
Saat Yogyakarta dikembalikan kepada republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Dan Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang, alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya. Bahkan rakyat Aceh kala itu menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat. Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai panglima yang saleh dan taat agama, sebab itu dari Aceh dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru
Reply

Use magic Report

Post time 12-8-2007 01:42 PM | Show all posts
Aceh Merdeka
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


malaygoblok This user has been deleted
Post time 12-8-2007 02:16 PM | Show all posts

Reply #16 HangPC2's post

Dapatkah kita memberikan kemerdekaan ke Sabah dan Serawak ??? Ya memang harus, kerana kita mengambil wilayah tersebut secara sepihak ....
Reply

Use magic Report

Post time 12-8-2007 10:16 PM | Show all posts
Originally posted by malaygoblok at 12-8-2007 02:16 PM
Dapatkah kita memberikan kemerdekaan ke Sabah dan Serawak ??? Ya memang harus, kerana kita mengambil wilayah tersebut secara sepihak ....


aik.... dah jadi beggar lah pula,........
Reply

Use magic Report

Post time 12-8-2007 10:56 PM | Show all posts
Reply

Use magic Report

Post time 13-8-2007 09:39 AM | Show all posts
Sabah dan sarawak mempunyai kuasa autonomi yang saya rasa boleh buat semua negeri di semenanjung jeles..

[ Last edited by  dCrook at 13-8-2007 02:37 PM ]
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

19-5-2024 01:03 PM GMT+8 , Processed in 0.072951 second(s), 47 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list