CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 3427|Reply: 2

Sutan Takdir Alisyahbana: Tokoh Modernisasi Budaya & Bhs Indonesia

[Copy link]
Post time 11-2-2008 02:55 PM | Show all posts |Read mode
Suatu Filosofi untuk Masa Depan Menuju Kebudayaan yang Inklusif
Oleh: SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
Kompas; 11 Februari 2008

Pengantar:


Hari ini adalah peringatan 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang lahir 11Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan karya terakhir yang ia tulis semasa hidupnya. Pada umumnya orang mengingatnya sebagai penulis novel Layar Terkembang dan sebagai pemimpin redaksimajalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru.

Namun, sumbangan utamanyasebetulnya bukan dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Ia memodernisasikan bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional negara modern yang merdeka yang ikut mempersatukan Nusantara.


Ia juga adalah pencetus Polemik Kebudayaan yangmenjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan ia berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Tak banyak yang menyadari prinsip yang melandasi segala ucapannya.

Takdir menerbitkan hampir seluruh pandangan yangberbeda-beda dalam Polemik Kebudayaan yang hampir semuanya bertentangandengan pandangannya sendiri. Meskipun ia semangat dan terus terangdalam mengekspresikan pandangannya, ia tetap menjadi demokrat yangtidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah Pudjangga Baru.

Sepanjang hidupnya Takdir tak pernah berhenti dalammenyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan, namun iajuga menghargai pentingnya kebebasan berekspresi bagi mereka yang tidaksependapat dengan pandangannya. Dengan cara ini Takdir membantumewujudkan dialog yang membentuk Indonesia. Tidak banyak orang yangmelihat sisi ini dari Takdir.


Takdir memperkenalkan wacanamengenai pentingnya kita untuk menciptakan sebuah kebudayaan dunia yanginklusif. Istilah kebudayaan yang inklusif sekarang sudah menjadipopuler. Takdir telah berjuang untuk itu melalui karya dan tulisannya sepanjang hidupnya dan ia menyebutnya jauh sebelum kebanyakan oranglain. (*)

-----------


Dewasa ini kecepatan transportasi dan komunikasisebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yangdahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yangmengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kitatak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kitayang seolah-olah semakin menyusut.

Sepanjang sejarah, denganbertambahnya pengetahuan serta kemampuan manusia menciptakan teknologiyang semakin canggih dan efisien, masyarakat dan budaya manusia menjadi  semakin lama semakin kompleks dan luas: suku menjadi marga, marga menjadi kerajaan, dan kerajaan menjadi negara kebangsaan. Proses inijuga terlihat di dalam perkembangan persenjataan. Dengan memakai anak tombak dan panah kapWLIOBANGANGs untuk menghancurkan musuh terbatas, manusiahanya mampu membunuh satu orang dalam sekali waktu, namun dengan penemuan bubuk mesiu dan senjata otomatis, kapWLIOBANGANGs untuk membunuhmenjadi dahsyat sebagaimana terlihat dalam peperangan abad ke-20.Namun, dengan bom atom, terlihat jelas bahwa manusia menghadapi situasiyang sama sekali baru. Sekarang perang bukan hanya mengakibatkanpembunuhan massal.

Dengan senjata atom kita sudah mampu memusnahkandunia bahkan menghapuskan seluruh umat manusia. Sangatlah jelas bahwadalam situasi seperti ini kita harus mengubah cara pandang dan sikapkita terhadap sesama manusia.


Proses globalisasi mengakibatkanberbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapidi mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan mediamassa. Akibatnya terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yanglebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusiasebelumnya.


Pandangan-pandangan lama yang bersumber padasukuisme, nasionalisme, dan eksklusivitas agama harus berubah sehingga  tidak timbul konflik yang tak terkendali lagi. Kita harus mengatasi keterbatasan kita dan kontroversi dengan pihak lain melalui sikap dan pemikiran baru yang radikal. Sebuah filosofi pemahaman dan tanggungjawab yang baru dan lebih luas cakupannya harus tampil. Kita tidak minta dilahirkan di dalam suku, bangsa, atau agama tertentu. Berdasarkan sudut pandang ini situasi kita sebuah kebetulan. Saya lahir sebagai orang Indonesia, tapi saya bisa saja terlahir sebagai orang Eskimo dengan kebudayaan dan cara hidup orang Eskimo.


Dari sudutpandang ini, semua masyarakat dan kebudayaan lain merupakan bagian daripeluang dan potensi yang terbuka bagi saya. Orang yang saya pandangsebagai suku lain akan menjadi suku saya andaikata saya lahir di antaramereka.

Di zaman transportasi dan komunikasi yang pesat, orangsering pindah dan menetap di antara masyarakat dan kebudayaan lain. Maka kita perlu mengembangkan pemikiran kita sehingga kita memandangorang lain sebagai peluang dan potensi baru yang terbuka bagi kita.Kita tidak menentukan tempat kelahiran, adat istiadat, dan pendidikankita. Melalui perkawinan dan berbagai kontak sosiol dan budaya lain, melalui radio, televisi, buku, dan majalah, kita telah menjadi bagian dari orang dan masyarakat lain dan demikian pula sebaliknya.

Dalamkonteks ini, tidak ada lagi konsep 攐rang lain

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 11-2-2008 03:12 PM | Show all posts
Ke Barat Bersama STA
Senin, 11 Februari 2008 | 02:53 WIB

Sapardi Djoko Damono

Dalam pengantarnya untuk antologi Puisi Baru yang disusunnya, Sutan Takdir Alisjahbana atau STA memberi gambaran ringkas perkembangan pemikiran zaman yang melahirkan romantisisme di Barat.

Mengacu ke pembicaraan itu, tegas dinyatakan,
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-2-2008 06:05 PM | Show all posts
Sutan Takdir Alisjahbana's relevant thoughts on 'bahasa'
Setiono Sugiharto, Jakarta

Thelate Sutan Takdir Alisjahbana, who was born in Natal, North Sumatra onFeb. 11, 1908, is recognized not only as one of Indonesia's great writers but also as a philosopher whose ideas still exert a considerable influence in Indonesia's contemporary literary studies and the development of modern Indonesian Language.

Many, including the younger generation, would only know him as the author of the famous novel Layar Terkembang (Open Sail) and the founder and editor of a literary and linguistic magazine, Pudjangga Baru (The New Writer).  

Among language teachers and students, Alisjahbana is known as the writer of Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (New Indonesian Grammar), published in 1948, used as a reference for teaching Indonesian grammar to both senior high school and university students then.

Most of Alisjahbana's works on Indonesian linguistics were motivated by his philosophical views on the nature of language planning or, to use his coined term, language engineering. For him, planning for all the behaviors of language for all members of a nation was a difficult, if not an impossible task. Furthermore, he saw this kind of planning as a corrupt activity that could be little the essence of humans as thinking and free beings.

His conviction was that standard English, French, German and other standard languages (probably Indonesian language) were mainly the product of compulsory education.

Alisjahbana then contended that the idea of language planning should be perceived in a very limited sense and for a very special goal. It was the language of schools that could be the target of effective planning.

His philosophical perspective on language engineering also served as the main impetus for him to pioneer the publication of Pembina Bahasa Indonesia (Guide to the Indonesian Language), a monthly magazine written to help teachers understand grammatical and terminological difficulties in the language.

Despite his insistence on controlling the use of language (i.e.grammar) in class via many of his erudite works, Alisjahbana never resented the use of language in the other domains. Indeed, he acknowledged the freedom of using language, as part of human nature.

At the Second Congress of Indonesian Language in Medan in 1945, for example, Alisjahbana took a moderate stance when a group of teachers reproached the language used by journalists for being sloppy and anarchistic. For him, journalists were the true bearers of modern Indonesian, and the teachers' main concern was not to correct them, but rather to concentrate on the language of the coming generation of journalists who were still their pupils in schools.

For those adopting chauvinist attitudes of language used formaintaining nationalism, many of Alisjahbana's views of language modernization are incompatible and even contradictive. Purists wouldl ikely reject any foreign terminologies and instead use the native language in all domains of life.


Alisjahbana believed that only by learning from the values of western civilization can language modernization be realized. In one of his internationally published articles, he bluntly proclaimed that among the established guidelines for the coining of modern terms, "I myself preferred (the choice of coining international terms) since it united Indonesia with the world of science and technology."

In this globalized and technologically advanced world, most of Alisjahbana's thoughts on language planning, as part of languagemodernization, are still germane to the development of Indonesian. His progressive and liberal view of accommodating international terms can help facilitate the progress of Indonesian as modern language.

In fact, if one really follows his line of thoughts, one may see that Alisjahbana offered a down-to-earth strategy for modernizing Indonesian language.

This is implied in his remarks on language codification, as follows, "Since the scientific, technological, and other modern concepts were already available and easily accessible in existing modern languages, the process of codification of modern Indonesian terms could proceed steadily without too much difficulty."

During his life, Alisjahbana may have learned from the reality that the development of a language is inseparable from contact with other languages. The fact that the most widely used language, English, is rich in its semantic field, is due to its user's flexibility, to borrow and adopt other languages such as French, German, Japan, Arabic, and even Malay.

The writer is chief-editor of Indonesian Journal of English Language Teaching. He can be reached at setiono.sugiharto@atmajaya.ac.id.

[ Last edited by  jf_pratama at 16-2-2008 05:19 PM ]
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

21-5-2024 05:15 PM GMT+8 , Processed in 0.068533 second(s), 33 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list