|
END | COMPLETE - TIANG KEMBAR | DIA BUKAN NENEKKU - based on true story by Simpleman (Update: #3, #4, #9, #11, #24, #26, #30, #33, #35, #36, #40, #44, #45, #49, #54, #57, #58, #59)
[Copy link]
|
|
wah tt cerita sangat menarik, sambung ye..x sabar nak baca ni, heheheh |
|
|
|
|
|
|
|
Aaaa doakanlah kerajinan tu masuk dalam jiwa raga TT nak sambung ksksksks
|
|
|
|
|
|
|
|
hehehe ok nak sambuung la ni
|
|
|
|
|
|
|
|
Dela diberitahu, kondisi (keadaan) Mega kritis (kritikal). Sebelum di bawa kesini, Mega muntah darah banyak, tapi yang mengkhawatirkan tentu darah yang keluar dari telinga kirinya. Ini sudah menjadi masalah serius.
Dela hanya tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja seperti ini.
Rupanya, malam itu Dela berniat untuk menghadapi ketakutannya meski diselimuti ketakutan, Dela memberanikan diri masuk ke kamar Mbah Wira. Beliau sedang melihatnya, tampak tengah menunggu.
“Panjenengan sinten?” tanya Dela lantang.
“Kau siapa?”
“Wes eroh to ndok. Sopo sing ndudui? Kancamu iku piye sak iki? Wes mati?”
(Sudah tau kamu nak. Siapa yang ngasih tau (beritahu). Temanmu, bagaimana keadaannya? Sudah meninggal?)
Tidak tau apa yang baru saja Dela dengar, dia seperti mematung di hadapan sosok yang menggunakan tubuh neneknya.
Malam itu juga, Dela menceritakan semuanya ke Pak Imron dan Bu Ida. Di luar dugaan, mereka juga merasakan hal yang sama.
“Pak, kayaknya (sepertinya) ada yang salah sama ibuk. Aku pernah lihat ibu makan kembang (bunga), tak (aku*) kirain (ingatkan) untuk apa, tapi kok ngeri pak” tambah Bu Ida.
*[Bahasa Jawa Timur merujuk “aku” dengan kata “tak]
Pak Imron yang merupakan anak kandung Mbah Wira terdiam memikirkan sesuatu.
“Besok bapak cari bantuan. Bapak punya kenalan yang bisa bantu,” pungkas Pak Imron.
Dari kamar Mbah Wira terdengar suara keras menyentak (menjerit; berkata dengan lantang) “GAK USAH NGUSIR AKU KOEN KABEH” (gak/tidak usah ngusir aku kalian semua).
Malam itu, Pak Imron mengunci pintu kamar Mbah Wira saking (kerana) takutnya.
Bila dengan mengunci kamar Mbah Wira sudah menyelesaikan masalah sepertinya Pak Imron salah besar, setelah pintu dikunci, Mbah Wira tertawa sembari (lalu) berujar dengan bahasa jawa yg sanguk (mengerikan) sepeti orang mengutuk (menyumpah).
“MENUNGSO KOEN KABEH BAKAL KENEK IMBAS’E”
(manusia seperti kalian semua kelak akan kena batunya/tempiasnya)
Dan tepat setelah mengatakan itu, listrik (elektrik) seolah mati total.
Malam itu juga Pak Imron langsung menghubungi kenalannya. Sembari (sedang) mereka bersama keluar dari rumah itu, bingung, Pak Imron menunggu sampai ada mobil (kereta) datang.
Rupanya itu adalah teman kerja Pak Imron. Baru saja beliau turun dari mobil, beliau langsung istighfar.
“Astaghfirullah, Imron, ada apa ini. Kenapa rumahmu banyak sekali demitnya (makhluk halus),” bingung, Pak Imron menceritakan semuanya.
“Mbah Wira, sejak kapan? Kenapa kamu gak (tak) ngasih (beri) tau?” jawab teman Pak Imron.
Hanya berbekal membaca doa, kawan Pak Imron melesat masuk ke rumah. Istighfar kembali terdengar. Rupanya di setiap sudut di penuhi bangsa halus seolaholah disini sedang ada pesta yang di adakan.
“Gini saja” kata kawan Pak Imron,
“Kalian semua pergi dari sini, besok kita Kembali. Malam ini, firasatku buruk Imron. Yag sekarang ada di kamar itu,” beliau menunjuk kamar Mbah Wira, “berbahaya”.
Mbah Wira kembali berteriak di dalam kamar.
“AYO MRINIO KOEN CAH AMBU PARE, ILMU JEK DANGKAL KOEN WANI NANTANG AKU”
(Ayo kesini kamu anak bau pare (budah mentah), ilmumu masih dangkal tapi berani nantangin aku)
Malam itu juga, rumah Pak Imron di kunci, sementara Mbah Wira terus berteriak kesetanan, untung saja tetangga tidak ada yang bangun.
|
|
|
|
|
|
|
|
cutestars replied at 3-3-2023 06:03 PM
Dela diberitahu, kondisi (keadaan) Mega kritis (kritikal). Sebelum di bawa kesini, Mega muntah darah ...
Lagiii...cepatin disambung mbak tt |
|
|
|
|
|
|
|
Mereka pergi menuju rumah kawan Pak Imron.
Pak Sugeng memang bisa (boleh) melihat hal-hal begituan (hal-hal mistik) karena itulah terkadang dia buka pengobatan alternatif. Namun dari semua pengalaman dia mengusir bangsa halus, baru kali ini Pak Sugeng tidak berkutik hanya dengan melihat energi gelapnya.
“Sejak kapan (bila) Mbah Wira seperti ini?” tanya Pak Sugeng.
Bu Ida dan Pak Imron hanya diam mematung tidak tau dari mana semua berawal. Dela yang mendengar itu menjawab, “sejak si Mbah cerita katanya dia sering didatangi wanita cantik di dalam mimpinya”.
Pak Sugeng tampak berpikir, kemudian beliau mengambil handphonenya.
“Saya punya kenalan yang punya pengalaman melawan Jin Rhib seperti ini,” kata Pak Sugeng.
“Jin Rhib itu apa?” tanya Pak Imron.
“Jin yang keras kepala, sukar keluar kalau sudah masuk tubuh manusia. Masalahnya, Mbah Wira bisa sampai di rasuki seperti ini, lho kok bisa tah?? Mbahmu itu, getihe anget (darah panas*), rajin sholat, bagaimana mungkin masih bisa? Semoga tidak seperti yang saya pikirkan” jawab Pak Sugeng Panjang lebar. [*getih anget – darah hangat. Orang jawa percaya ada sesetengah orang dilahirkan dengan darah hangat, maksudnya kalau bangsa halus ni suka dengan orang-orang darah hangat ni. Macam dalam KKN Desa Penari, Widya tu pun ada getih anget sebab tu makhluk halus suka dekat dia]
“Apa yang kamu pikirkan, Geng?” tanya Pak Imron.
“Saya takut Mbah Wira ikhlas menyerahkan diri secara sukarela sama Jin itu. Semoga tidak. Berdoa saja kalian,” tambah Pak Sugeng.
“Memang apa yang terjadi pak kalau si Mbah ternyata memang berserah pada jin itu?” tanya Dela penasaran.
Pak Sugeng diem lama. Dia menatap semua orang. Wajahnya tegang.
“Susah itu, dek” katanya. “Kalau Mbah Wira memang sengaja secara sadar pasrah jin itu masuk, itu artinya kemungkinan kecil bisa keluar. Bayangkan saja, ada yang bertamu dan tuan rumah mengijinkanya masuk bahkan sampai menginap, apa kamu mikir? Apa yang terjadi kalau kamu ngusir itu tamu, padahal lha wong (dia) yang punya rumah sudah kasih ijin,” Pak Sugeng kali ini duduk, di yalakan rokok sembari masih menahan diri.
“Saya yakin terlepas dari Mbah Wira menyerahkan tubuhnya atau tidak, ada alasan lain yang saat ini saya belum tahu. Tapi bangsa jin itu manipulatif, licik, jahat, mereka bisa membohongi, mengancam, bahkan melukai, bila tidak mendapat apa yang menjadi tujuannya. Disini saya harus cari tahu. Malam ini kalian tidur saja disini. Biarkan saja Mbah Wira disana, dia akan baik-baik saja. Jin itu tidak akan melukai tubuh inangnya (tuan rumahnya), besok setelah kawan saya datang, kita coba pelan-pelan (perlahan-perlahan). Semoga Allah melindungi kita,” jelas Pak Sugeng panjang lebar.
|
|
|
|
|
|
|
|
dah hapdet dua bab. satu hari mampu dua bab je nok. sakit kepala iolls
|
|
|
|
|
|
|
|
bes bes.
Itu hari frust jugak cerita KKN tak besambung. ingat TT merajuk |
|
|
|
|
|
|
|
Wuu, bestnya cerita ni. Saya pun jawa juga tapi rak iso jawa kromo / halus ni |
|
|
|
|
|
|
|
Dela masih termangu menatap langit-langit (siling) kamar. Ada sebuah detail cerita yang dia lupakan, namun detail itu yang akan menjelaskan semuanya.
Sendirian di rumah orang membuat Dela tidak tenang terlebih wajah si Mbah terbayang-bayang. Maksud mimpinya melihat Mbah Wira menangis sepertinya masuk akal tapi kenapa si Mbah mau menyerahkan begitu saja tubuhnya, seolah dia memiliki alasan yang masuk akal.
Rupanya, malam itu Dela bermimpi.
Wanita cantik yang konon sering dia dengar dari Mbah Wira datang menemuinya.
Wajahnya cantik sekali, sampai Dela tidak tau harus menjelaskan seperti apa parasnya.
Wanita itu tersenyum, menyapanya dengan lembut kemudian berujar, “Dela, mau ketemu si Mbah?” katanya.
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Dela begidik ngeri, meski kecantikannya tak terbantahkan namun, wanita itu seperti sedang mencoba menjebaknya.
“Sini, tak (aku/saya) anterin (hantarkan) ke si Mbah kalau mau ketemu. Si Mbah kangen (rindu) sama Dela, Dela juga kangen (rindu) kan?”
Bersiap untuk menyambut tangan, Dela terbayang wajah Mbah Wira yang menangis, dia menarik ulur tangan itu, ketika dia terbangun.
Pak Sugeng ada disana menyentuh kepalanya sembari membaca ayat kursi. “Astaghfirullah,” katanya dengan keringat di keningnya (dahinya).
Pak Imron dan Bu Ida menatapnya, menangis melihat Dela yang meraung-raung. Dela tidak tau apa yang terjadi, karena dia tidak sadarkan diri dalam tidurnya.
“Kamu gak papa (tidak apa-apa), nak,” peluk Bu Ida tangisnya pecah.
“Saya kecolongan (terlepas pandang), sudah ku duga jin ini gak (tak) main-main kalau mencelakai orang,” Pak Sugeng menatap Dela, “Kamu mimpi apa dek?”.
“Wanita cantik ngajak (ajak( saya ketemu si Mbah,” kata Dela tergagap wajahnya masih tegang.
“Kamu terima tawaranya?” tanya Pak Sugeng.
“Mboten (tidak), pak. Tadi saya langsung lari, dia sempet (sempat) ngejar (kejar) saya, tapi si Mbah nolong (tolong) saya. Beliau bilang jangan ganggu keluarga saya,” jawab Dela. Dela menangis sejadi-jadinya.
“Sudah kuduga,” kata Pak Sugeng. “Mbah Wira menyembunyikan sesuatu. kamu tidur lagi saja dek, kali ini, jangan lupa doa nggih (ya), minta pertolongan sama Allah.”
Pak Sugeng pun pergi meninggalkan kamar itu.
************************************************
Sorry tak update dua hari. TT pergi jalan-jalan lepas tu malas nak bawak laptop sksksks. Kalau boleh weekend mmg TT tak hapdet la rasanya sbb nak beraktiviti dengan family. Maaf yahhhh
|
|
|
|
|
|
|
|
samalah. kalau setakat sikit2 tu faham lah jawa yg biasa. yg halus ni TT tak faham langsung sksksks. sbb TT byk kwn dgn acik2 jugak kat sini. tapi di jakarta ni rata2 orang nya dah moden. tak guna sgt jawa. banyak guna indo.
|
|
|
|
|
|
|
|
Besoknya datang seseorang masih muda. Beliau menyapa dengan ramah, rupanya beliau adalah kenalan dari Pak Sugeng yang diceritakan semalam.
“Namanya Mas Iwan. Dia dulu mondok (sekolah pondok) di pondok pesantren (sekolah pondok) Al-****** , beliau datang jauh-jauh kesini ingin membantu.” Pak Imron menyambut salam hangat itu.
Di jalan, Pak Sugeng menceritakan semuanya. Mas Iwan hanya magut-magut (angguk-angguk) saja. Sesampai di rumahnya Pak Imron, Mas Iwan langsung merasakan sentakan tidak enak. “Banyak sekali penghuninya,” kata Mas Iwan, siang bolong (siang hari), dia melihat kesana-kemari.
“Sebelumnya tidak begini,” kata Pak Sugeng. “Tampaknya Jin Rhib ini berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengikut,” tanpa basa-basi, Mas Iwan langsung menuju kamar Mbah Wira. Begitu pintu dibuka, Mas Iwan kaget (tekejut) bukan main melihat kondisi (keadaan) Mbah Wira yang tengah duduk menyantap bangkai kucing.
“Astaghfirullah” kata Mas Iwan disaksikan oleh Pak Imron dan Pak Sugeng.
Mas Iwan mendekati Mbah Wira yang menatapnya tajam dengan gigi kemerahan dari darah daging kucing yang dia santap hidup-hidup.
“Assalamualaikum,” sapa Mas Iwan.
Namun, Mbah Wira tak menjawabnya.
“Assalamualaikum,” lagi, namun tetap tidak dijawab.
“Assalamualaikum,” ketiga kalinya, Mbah Wira menjawab, “waalaikumsallam” namun suaranya bukan suara Mbah Wira melainkan suara menyerupai suara seorang pria (lelaki).
“Panjenengan sinten, lan enten nopo panjenengan ten mriki?”
(Anda siapa? Dan ada urusan apa anda ada disini?)
“AKU DI UNDANG,” jawab Mbah Wira.
“Sinten sing ngundang?”
(Siapa yang ngundang (jemput)?)
“GAK ONOK URUSAN AMBEK AWAKMU.”
(Gak (tidak) ada urusan denganmu.)
“Penjenengan saget jawab salam kulo, sak niki kulo nyuwun tolong, panjenengan metu ambek rencang-rencang panjenengan? Saget?”
(Anda bisa menjawab salam saya, sekarang saya ingin meminta tolong, bisakah anda pergi bersama teman-teman anda? Bisa?)
Mbah Wira tiba-tiba berteriak keras sekali. Lalu dia menatap Mas Iwan dengan sengit (tajam, menentang). Kali ini dia mengerang seperti macan (harimau).
Pak Sugeng memberitahu Pak Imron yang tampak kebingungan, “yang barusan (tadi) adalah jin munafik. Dia ikut masuk kedalam tubuh Mbah Wira. Sebenarnya ada banyak sekali yang sudah masuk. Tujuannya cuma satu, jin Rhib ini, sedang bersembunyi di antara mereka.”
Pak Imron tidak dapat percaya namun dengan melihatnya secara langsung dia harus merubah pikirannya bahwa hal di luar nalar (akal) ini rupanya nyata.
Mas Iwan meraih botol minum yang sudah dia bawa, disiramkan air itu sembari (lalu) beliau berdoa. Seolah terbakar, Mbah Wira merangkak seperti macan (harimau) menjauhi Mas Iwan.
Mas Iwan menatap Mbah Wira, matanya mendelik (dikecilkan) seolah memberi ancaman dan Mbah Wira terus meraung marah. Suaranya nyaris sama seperti harimau betulan (betul), “pak, permintaan saya tadi sudah di bawa kan?”. Pak Sugeng mendekat, memberikan kain kafan yang sudah di robek membentuk siluet tali (seperti tali).
“Tolong bantu saya pegangi ini, pak” kata Mas Iwan.
Pak Sugeng dan Pak Imron langsung menangkap Mbah Wira. Kaget (terkejut) bercampur bingung, tenaga Mbah Wira bukan main kuat. Bagaimana mungkin wanita yang sudah berumur bisa membuat dua lelaki dewasa seperti tersudut (kalah).
Mas Iwan, menyentuh kening (dahi) Mbah Wira sembari (sambil) memanjatkan ayat-ayat. Raungan Mbah Wira semakin keras, namun dengan begitu Mbah Wira mau dituntun ke atas kasur (katil), diikatnya kaki dan tangan Mbah Wira dengan tali kain kafan di empat tiang ranjang (katil).
Masih mengaum marah, Mas Iwan kemudian kembali membaca ayat-ayat.
Kali ini, Mbah Wira sudah tidak seperti macan (harimau). Namun suaranya menggelegar (berdegar-degar), tertawa-tawa, bahkan mencemuh.
“Mbok pikir aku bakal metu ambek caramu ngene tah? Cah cilik model raimu gak bakal isok mekso aku.”
(Kamu pikir dengan begini kamu bisa mengusirku? Dasar anak kecil, kamu tidak akan bisa memaksaku keluar.)
“Apakah itu jin nya, mas?” tanya Pak Imron. Wajah Mbah Wira mendelik dengan senyum mengejek, seolah-olah apa yang di lakukan Mas Iwan gak (tidak) berguna.
“Bukan, pak,” kata Mas Iwan, “Ini jin lain, saya akan coba memaksanya keluar tapi saya butuh waktu.”
Mas Iwan mengambil telur ayam, diletakkanya telur itu di bawah bayang (ranjang) kasur (katil), kemudian beliau kembali membaca ayat-ayat. Aneh, meski wajah Mbah Wira meringis menahan sakit namun dia masih tersenyum seolah membuktikan bahwa dia tidak dapat dikalahkan.
Yang terakhir, Mas Iwan menarik sesuatu dari ujung (hujung) kepalanya. Seolah ada yang dia ambil, namun dia lakukan itu berkali-kali. Jeritan Mbah Wira begitu hebat, sampai menimbulkan kebisingan di antara warga yang berbondong-bondong mendekat dan penasaran, Pak Sugeng segera menemui Pak Imron dan menjelaskan apa yang terjadi.
Begitu selesai, Mas Iwan keluar dengan wajah masam. Pak Imron seolah tau apa yang akan dikatakan Mas Iwan.
****************************
|
|
|
|
|
|
|
|
bagus cerita nya... |
|
|
|
|
|
|
|
“Lalu bagaimana, Mas?” tanya pak Sugeng.
“Begini saja. Kita bawa dia ke pondok pesantren (sekolah pondok) tempat saya menimba ilmu. Insya Allah, banyak yang akan membantu,” katanya mencoba memberi harapan.
Mas Iwan mengajak Pak Sugeng dan Pak Imron masuk ke rumah. Di atas meja, ada sebutir telur yang diletakkan di bawah ranjang.
“Begini Pak Imron. Mohon maaf, sejak awal saya curiga jin ini sudah menghasut Mbah Wira agar menyerahkan raganya secara pasrah. Bila telur ini menghitam dan bau busuk, maka Mbah Wira benar-benar yang menyerahkan tubuhnya. Sebaliknya, bila telur ini tampak normal, ada harapan, bahwa jin ini memaksa Mbah Wira,” jelas Mas Iwan Panjang lebar.
Ketika telur diketuk (dipecahkan) dan dikeluarkan dari cangkangnya, semua yang ada di sana kompak (bersama-sama) menutup hidung. Bau busuk telur itu rupanya jauh lebih dari kata busuk bahkan cairan kental hitam menyelimutinya.
“Tanda apa ini, Pak?” kata Pak Sugeng.
“Keluarga bapak yang membawa Jin ini sehingga ia terikat dengan semua kejadian ini,” kata Mas Iwan tegang.
“Lalu bagaimana, Pak?”
“Saya butuh (perlu) sebuah mobil (kereta) besar, yang mampu memuat 12 orang santri (murid) pondok pesantren (sekolah pondok), mereka akan membantu kita menghadapi petaka ketika kita di jalan,” pinta Mas Iwan.
Pak Sugeng menatap Pak Imron, “sudah, sebaiknya kamu cari bus yang bisa disewa. Perjalanan ini akan sangat sulit bahkan berbahaya, untuk keluargamu, untuk kita semua,” tambah Mas Iwan.
“Keluarga saya, Pak?” Pak Imron bingung.
“Nggih (ya), keluarga panjenengan (anda)” kata Mas Iwan menegaskan.
Sepulang dari sana, Pak Imron menceritakan semua kepada Dela, kepada Bu Ida. Mereka pucat, berpikir, bagaimana kejadian ini bisa menimpa keluarga mereka. Apa yang sebenarnya terjadi. ***********************
Sorry semalam lupa hapdet. TT leka lepak bod gosip skskskskks ok nah
|
|
|
|
|
|
|
|
Hari itu Dela dikabari (diberitahu) Mega siuman (sedar). Dengan cepat Dela pergi ke rumah sakit (hospital) dimana Mega di rawat. Dela bertemu ibunya Mega, menjelaskan ketika ia (dia) siuman (sedar), yang ia panggil pertama itu nama Dela. Sepertinya Mega mau mengatakan sesuatu.
Begitu mata mereka bertemu, Dela memeluk Mega dan kemudian Mega menceritakan semuanya.
“Mbah Wira, Del, dia bukan mbahmu!” kata Mega, suaranya gemetar menceritakannya.
“Siapa yang lu (kau) lihat (nampak), Meg? Kok lu (kau) kayanya (macam) ketakutan gitu?” tanya Dela Kembali.
“Sumpah Del, demi tuhan itu bukan mbahmu, percaya, Del!”
“Iya, gue (aku) percaya,” kata Dela menenangkan. “Apa yang lu (kau) lihat (nampak), Meg sebenarnya?”
“Gw (aku) gak (tak) tau, Del. Wajahnya gak (tak) bisa aku gambarin (gambarkan). Gw (aku) gak (tak) pernah ketemu (jumpa) makhluk semengerikan ini, Del. Bertanduk mirip kerbau, besar dan hitam, tapi suaranya seperti suara perempuan. Gw (aku) diancam, Del” jelas Mega.
“Diancam bagaimana?”
“Dia bilang (kata), gw (aku) gak (tak) boleh ikut (masuk) campur, karena kalau gw (aku) ikut campur, dia akan ngejar gw (aku, Del. Gw (aku) takut, makanya gw (aku) ngebut (nak cepat), dan rupanya gw (aku) gak (tak) sadar di depan ada pohon (pokok). Gw (aku) gak (tak) inget (ingat) apa yang terjadi tapi gw (aku) masih bisa bayangin (bayangkan) wajahnya di depan gw (aku),” sambung Mega.
“Sekarang gimana (macam mana)? Dia masih ngejar (kejar), lu (kau)?”
Mega menggelengkan kepala, “Del,” kata Mega. “Gw (aku) mimpi. Di mimpi gw (aku), ada Mbah Wira. Dia lagi nangis, suaranya kaya (macam) minta tolong, Del. Tolongin (tolong) Mbah Wira, Del, tolongin. Kasihan dia,” ujar Mega.
Dela hanya termangu (tercegat) memandang Mega.
************************
Malam itu juga, Dela dan Bu Ida sudah berkumpul di rumahnya. Banyak warga yang penasaran (rasa ingin tahu). Desas-desus sudah menyebar, tidak hanya keluarga mereka yang menjadi perbincangan namun sedari tadi banyak anak-anak yang tidak dikenali memenuhi rumah. Mereka mengaji di depan rumah itu.
Bus yang di sewa Pak Imron sudah datang. Mas Iwan dan Pak Sugeng mengangkat tubuh Mbah Wira yang memberontak minta dilepaskan. Warga mulai terdengar bersahut-sahut membicarakan ini. Ini pertama kalinya terjadi di kompleks (taman perumahan) ini, membuat Dela hanya bisa merunduk pasrah.
Anak-anak itu rupanya para santri (murid) dari pondok pesantren (sekolah pondok) Mas Iwan. Setelah Mas Iwan masuk ke bus, yang lain mengikuti termasuk Pak Imron sekeluarga.
“Apa tidak sebaiknya kami pakai mobil (kereta) sendiri saja, Mas?” kata Pak Imron.
“Jangan. Sudah, lebih baik di bus saja semuanya,” kata Mas Iwan.
Disana, Mbah Wira diikat dan mendelik (memandang) ke semua orang. Wajahnya menatap marah Pak Imron dan mencaci maki dia bahwa dia anak durhaka yang memperlakukan ibunya se-enak hatinya.
Dela belum berani menceritakan ini pada Mas Iwan dan yang lain, namun sesekali ia melirik wajah Mbah Wira.
Setiap kali Dela meliriknya, ia melihat Mbah Wira juga menatapnya. Tersenyum seakan-akan menyapanya.
Bus mulai meninggalkan rumah Pak Imron. Suara para santri (murid) lantang berdoa membaca kertas yang sudah di bagikan Mas Iwan. Bus itu seperti bus yang kesemuanya menjadi seperti pengajian.
Namun entah perasaan apa yang lewat (lalu) begitu saja karena Dela sudah merasa bahwa perjalanannya tidak akan mudah.
Benar saja, sepanjang perjalanan mendengar para santri (murid) berdoa umumnya (selalunya) akan membuat Dela tenang. Namun rupanya sebaliknya. Semakin jauh bus berjalan, bulu kuduk (bulu roma) Dela semakin merinding (tegak) sampai mereka meninggalkan keramaian (jalan besar) dan mulai memasuki alas (hutan). Perjalanannya sendiri jauh-jauh ke timur.
Mbah Wira hanya tertawa. Masih terus mengumpat (menyumpah seranah) dengan bahasa jawa dan seolah apa yang mereka lakukan sia-sia belaka sampai tepat dijalanan tengah hutan, Dela melihatnya.
Sepanjang jalan, dia bisa lihat di luar, di samping pohon-pohon (pokok-pokok) hutan ia diawasi, diikuti.
Lalu, bus mendadak berhenti begitu saja.
Mas Iwan meminta semua tetap membaca doa. Sopir (pemandu) bus melihat ke arah Pak Imron. “Maaf, Pak, busnya tiba-tiba berhenti.”
Saat itu gemuruh suara terdengar membuat para santri seperti tersentak. Di ikuti suara tawa melengking, Mbah Wira menunjuk (menunding jari ke arah) Mas Iwan kemudian berkata, “musibah iki gak bakal mari, sampe aku oleh siji teko kabeh wong seng gok kene (musibah ini tidak akan berhenti disini, ia akan mengikuti setiap dari kalian yang ada disini).”
“Bismillah, Pak. Ayo (ayuh) coba jalan lagi,” kata Mas Iwan tenang.
Anehnya, bus kembali berjalan. Namun, sopir (pemandu) bus itu tampak mengerti apa yang sebenarnya terjadi disini. Bukanlah perjalanan biasa karena ia bercerita pada Pak Imron, sepanjang perjalanan, di kiri kanan jalan, banyak memedi (bangsa halus) berbaris di sepanjang jalan meminta naik.
“Astaghfirullah hal’adzhim” kalimat itu terus terdengar dari mulut si sopir (pemandu) setiap ia melihat jalan, ia akan berucap itu kembali.
Sebenarnya, tidak hanya itu. Semakin malam, entah kenapa semakin dingin. Dinginnya bukan karena suhu turun namun ada energi negatif yang begitu kuat.
Seolah-olah menahan mereka agar tidak lanjut. Sampai akhirnya, hal yang paling tidak diinginkan terjadi. Ban (tayar) bus sempat bergesek hebat di jalan yang sudah sepi itu. Untung saja, bus mampu berhenti.
Tiba-tiba, Mas Iwan menyadari sesuatu.
|
|
|
|
|
|
|
|
hadir memeriahkan suasana
lama takda cerita hantu kat bod ni. |
|
|
|
|
|
|
|
aduhhh, ape tu mas iwannn? terima kasih TT belanja sambungan |
|
|
|
|
|
|
|
Edited by cutestars at 10-3-2023 02:16 PM
“Alhamdulillah,” katanya.
Bingung, Pak Imron bertanya, “maksudnya bagaimana, Pak?”
“Pak sopir (pemandu), tolong di cek ban (tayar) atau mesinnya (enjinnya). Sekarang nggih (ya), yang lain tetap di dalam bus. Monggo (silakan) Pak Sugeng ikut saya,” kata Mas Iwan. Tanpa menunggu waktu lama, pak sopir (pemandu) memeriksa ban (tayar) satu-persatu. Dan benar saja, ada satu ban (tayar) yang kondisinya tidak memungkinkan untuk kembali berjalan. Pak sopir (pemandu) lantas bertanya, “apa maksudnya ini, pak?”
“Sudah, sekarang kita ganti bannya (tayarnya). Untung saja kejadian ini tidak menimpa kita di depan sana!” Mas Iwan menunjuk jalan di depan.
“Kenapa, Pak?” tanya si sopir (pemandu).
“Di depan sana, ada jurang yang kalau kondisi (keadaan) ban (tayar) tidak prima (bagus), mungkin akan membahayakan nyawa kita,” jelas Mas Iwan.
Dibantu Pak Sugeng, segera Mas Iwan dan pak sopir (pemandu) mengganti ban (tayar) yang besar itu. Sementara Dela melihat Mbah Wira berbicara denganya, “nduk, mbah kangen (rindu)”.
Namun Bu Ida dan Pak Imron memegang lengan Dela seolah menolak untuk mendekatinya.
“Iki si mbah ndok (ini si mbah, nak). Delia, namamu yang ngasih (beri) aku ndok (nak)” katanya.
“Iku si mbah pak, buk (itu si mbah, ayah, ibu). Dela mau mendekat!!” Dela meronta-ronta.
“Jangan!!” kata Pak Imron tegas.
“Jahat sekali kalian sama ibumu yang melahirkan kamu!! Jahat!” ucap Mbah Wira dengan suara bergetar.
Dela mulai menangis, memohon di ijinkan (izinkan) mendekat. Sampai ada seorang santri mendekatinya, “pendusta !! Sampeyan (kamu; sampean dalam bahasa jawa) pendusta!!”.
Saat itulah Dela sadar sosok di depannya menyeringai
Bus kembali melaju dan benar saja, di kiri jalan hampir sepanjang 12 KM itu jurang. Pak sopir (pemandu) tidak berhenti beristighfar, seolah kejadian malam ini merupakan pengalaman yang membuatnya tidak percaya.
Sementara Mbah Wira kembali tertawa-tawa membuat suasana kian mencekam.
***********************
|
|
|
|
|
|
|
| |
|