|
Merah Biru Pencerahan Batik
BRE REDANA
Begitulahtangan Tuhan bekerja. Banyak orang heran, bagaimana kami bisamengerjakan ini semua. Jangankan mereka, kami sendiri saja heran denganapa yang kami capai ini.
Itukira-kira inti yang terungkap, kalau kita bicara dengan tiga ibu mudayang persahabatannya tumbuh di gereja, yakni Denny (42), Ho Ping (45),dan Inggrid (39), mengenai usaha batik yang tengah mereka kerjakandengan penuh antusias sekarang. Tiga wanita ini sedang dicerahkanhidupnya oleh batik. Batik mengubah perspektif mereka bukan hanyaterhadap mode, terhadap pakaian yang mereka kenakan sehari-hari, tetapijuga kehidupan.
Soreitu, ketiganya muncul di coffee shop sebuah hotel berbintang di kawasanMega Kuningan, Jakarta Pusat, dengan batik. Inggrid, yang datangterlebih dahulu, mengenakan rok terusan berbahan batik Lasem. Warnanyacoklat kalem. Kemudian menyusul muncul Denny, dengan blouse cerahbernuansa merah, dari batik yang katanya khas Jambi. Setelah beberapawaktu, tergopoh-gopoh muncul wanita yang ketiga, Ho Ping, dengan batikyang katanya merupakan batik Indramayu.
Menggelutibatik dengan perusahaan yang mereka bikin, dhi7, yang belum genap satutahun (mereka mulai bulan April 2007), kini ketiganya mengaku kelabakanmelayani order. Padahal mereka bukan perancang. Mereka bukan pembatik.Mereka juga bukan penjahit. Mereka mengaku hanya menyenangi batik.
Dari gereja
Awalnya,mereka ini hanya ingin penampilannya di gereja sebagai kelompok paduansuara kelihatan bagus. Berkreasilah mereka membuat seragam dari bahanbatik. Ketika batik itu mereka kenakan, teman-teman mereka katanyaterkesan, dan beberapa di antaranya meminta untuk dibikinkan.
Darimenerima pesanan teman-teman di lingkungan gereja, tanpa diduga usahamereka梥ebutlah "love affair" mereka dengan batik梑ergulir. Dalamrumusan berbeda-beda, mereka akan menyebut bahwa apa yang berlangsungitu adalah "kehendak Tuhan".
"Kami mengutamakan batik tulis, bukan batik cap," kata Inggrid.
Mulailahmereka melakukan perjalanan ke kota-kota kecil, seperti Pati, Juwana,Lasem (ketiganya di Jawa Tengah), Trenggalek, Tulungagung, Madura (JawaTimur), dan Cirebon, Indramayu (Jawa Barat), tak ketinggalan daerahSumatera seperti Jambi.
"Kadangkami masuk hotel baru pukul 02.00 dini hari..." cerita Denny, denganditimpali oleh kedua temannya, bagaimana perjalanan mencari batik itusampai ke pelosok-pelosok yang jauh.
"Batikyang dikenakan Denny itu sebetulnya belum jadi," kata Inggrid menunjukblouse yang dikenakan Denny. Namun, dari batik yang seharusnya masihdiselesaikan oleh perajinnya di Jambi itu, mereka sudah punyaperkiraan, bahwa dengan model tertentu batik itu akan bagus di badan.
Perjalananmencari batik itu juga mengubah gaya hidup mereka. Kalau tadinya ketigawanita Jakarta ini pola liburannya adalah jalan-jalan ke luar negeri("...dan membuang uang," kata mereka), sekarang berkelana ke kota-kotakecil di Indonesia ("...untuk berkarya," kata mereka).
"Kamibukan desainer, kami bukan penjahit, kami bukan perajin. Dengan usahakami, kami bertumbuh bersama para perajin batik itu," kata Inggrid.
Bersamapara perajin batik di daerah, mereka maju bersama. Para perajin daribatik-batik yang bukan dari wilayah "mainstream batik" itu, padaperkembangannya katanya juga punya antusiasme terhadap usahanya, karenapesanan para nyonya kota besar ini. Usaha batik mereka menggeliat lagi.Beberapa di antaranya梜etika mereka kunjungi dalam kunjunganberikutnya |
|