Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Ihsan Taroreh) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid’ah/sesat.
Melalui Surau nya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman yang mengakibatkan kemarahan seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) sehingga surau Ahmad Dahlan dihancurkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Perkumpulan Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta,Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja(Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah),Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk perkumpulan Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
VIVAnews - Wakil Presiden RI Boediono memberikan pujian terhadap film Sang Pencerah. Bahkan dia mengaku film tersebut salah satu film Indonesia terbaik yang pernah ditonton.
"Satu kata, luar biasa. Bagus sekali. Pesannya tepat, perdamaian dan sebagainya,"kata Boediono sesudah menonton film 'Sang Pencerah' di XXI Plasa Indonesia, Jakarta, Jumat 17 September 2010.
Bahkan Boediono mengaku Sang Pencerah merupakan salah satu film yang terbaik yang pernah dia lihat. "Saya kira ini salah satu yang the best, yang pernah saya lihat," ujarnya sambil mengacungkan 2 jempol.
Menurut dia, film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini pandai menggabungkan antara elemen entertaiment dan pengajaran. Pesan edukatif yang dibawakan dianggap tepat, seperti kerukunan beragama.
Boediono yang didampingi istrinya, Herawati Boediono, terlihat sangat rileks dan menikmati filmyang dibintangi Lukman Sardi itu. Sesekali dia ikut tertawa lepas.
Sesudah film usai diputar, Boediono langsung mengacungkan jempol kepada Hanung Bramantyo dan produser Raam Punjabi. "Brilian. Brilian," puji Boediono kepada keduanya. (sj)
“Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Puluhan orang membawa suluh berlari cepat. Siluetnya memenuhi jalanan Kampung Kauman, kawasan muslim dekat Keraton Yogyakarta. Penduduk menyingkir. Sebagian lagi hanya berani mengintip keramaian itu. Satu tempat mereka tuju: langgar kidul milik Ahmad Dahlan.
Para murid Dahlan yang sedang mengaji menghalangi massa yang mencari keberadaan sang guru. Tapi mereka kalah jumlah dan hanya bisa menyaksikan massa mengamuk. Suasana begitu menegangkan. Al-Quran dibawa keluar, semua barang dirusak. Dan akhirnya, tiang-tiang penopang langgar ditarik beramai-ramai. Langgar runtuh. Teriakan kemenangan mengalahkan tangisan para murid dan istri Dahlan, Siti Walidah.
Tak lama, Ahmad Dahlan, diperankan Lukman Sardi, pulang. Dalam hujan deras, ia menyaksikan reruntuhan genting yang menaungi tempatnya mengajar. Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) yang melihat kekejaman itu memayungi Dahlan. Sang guru lalu mengambil potongan Quran yang tercecer di tanah yang basah: surat Al-Ikhlas.
Kisah memerangi Bidaah...mcm menarik....tapi aku tak berapa suka sangat garapan filem Hanung Bramantyo sebelum ni.....(hanya pernah tgk dua - Misteri Sundel bolong ngan ayat2 Cinta)
An Enlightening Movie Triwik Kurniasari, The Jakarta Post, Jakarta
Director Hanung Bramantyo has returned to the silver screen with hislatest movie, Sang Pencerah (The Enlightened One), which tells thestory of Ahmad Dahlan and the foundation of the country’s secondlargest Muslim organization, Muhammadiyah.
After cheap horror flicks and children’s adventure films, it seemsthat patriotic movies are a new trend for the country’s film makers.
This holiday season local theaters are showing several patriotic movies.After the success of Darah Garuda (Blood of Eagles), we are now offeredwith Sang Pencerah, a movie about Muhammadiyah founder Ahmad Dahlan.
Bringingthe life of a national hero to the screen is an uphill battle,considering the fact that young people barely know some of Indonesia’snational heroes — let alone an insular figure such as Ahmad Dahlan, whopales in comparison to Prince Diponegoro or Gen. Sudirman.
The task of bringing Ahmad Dahlan’s story to life fell into thehands of Hanung Bramantyo, a young director known for blockbuster films such as Get Married and Ayat-ayat Cinta (Verses of Love).
Ahmad Dahlan is Hanung’s favorite national hero. “I really admire Ahmad Dahlan’s spirit. At the age of 21, for instance, he tried to change the direction of the kiblat,” Hanung said recently, referring to the direction in which Muslims must pray.
“He was only 21, but healready made a contribution to his community. A hundred years after thefounding of Muhammadiyah, what have our young generation done?”
Giventhe insularity of Ahmad Dahlan’s character — lionized only by membersof Muhammadiyah — some of actors hired for the project did not evenknow who he was.
Actor Lukman Sardi, who plays Ahmad Dahlan inthe film, admitted he knew nothing about Ahmad’s life until he washired to play the part and did some research.
Hanung has beenaccused of being on the payroll of Muhammadiyah to make the film. Hedenied the speculation, saying that he just wanted to raise awarenessabout the country’s national heroes.
A large part of the movie’s budget of Rp 12 billion (US$1.3 million)went to reconstructing late 19th century Yogyakarta, touching up oldbuildings and designing props.
“We couldn’t just buy Javanesetraditional clothing from the period. We couldn’t find most of antiquesthat were used in the movie. Every costume had to be ordered,” Hanungsaid.
In spite of the difficulties, Hanung said that this won’tbe his last project on national heroes. Currently he is working on ascript about Kartini, the country’s first feminist figure.
So expect more history lesson on the big screen soon.
Verdict : Sang Pencerah feels like reading a history book,since story goes from A to Z. It’s a good film and a conduit for young people to learn about their national heroes.
Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh. Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll.
Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi, dan berbagai masalah lain. (kunjungi masalah khilafiah) Alhamdulillah, perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.
Pandangan antara keduanya memang berasal dari "madrasah" (school of thought) berbeda, yang sesungguhnya sudah terjadi sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperti Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya membuka pintu ijtihad, kembali kepada Quran dan Sunah, tidak boleh taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayul, bid'ah dan khurafat (TBC).
Tetapi dalam perkembangan yang dominan --terutama di grass rootnya-- adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap sebagai sunah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis dan rasional, Muhammadiyah banyak diikuti oleh kalangan terdidik dan masyarakat kota.
Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy'ari, 1926), lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan.
Sebenarnya KH A Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi'i di Makkah. Ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH A Dahlan sangat tertarik dan mengembangkannya di Indonesia. Sedang KH Hasyim Asy'ari justru kritis terhadap pemikiran mereka...
Berikut secara ringkas perbedaan pandangan di antara keduanya: