Sejumlah Tesis Mengenai Hadis Nabi
Sejumlah Tesis Mengenai Hadis NabiIslamLib – Dalam pandangan Islam Sunni, hadis atau koleksi mengenai ucapan, tindakan dan ketetapan yang dibuat oleh Nabi Muhammad, dianggap sebagai sumber kedua setelah Quran. Jika mau, Anda boleh mengatakan bahwa hadis adalah kitab suci umat Islam yang kedua. Walau hadis tidak menempati kedudukan yang setara dengan Quran, tetapi sejumlah indikasi bisa menunjukkan bahwa keduanya dianggap berada pada dataran yang kurang lebih sama.
Ini bisa kita lihat dari pandangan sejumlah mazhab fikih Islam bahwa Quran boleh “dihapuskan” (dalam istilah teori hukum Islam disebut “nasakh”) oleh hadis. Abu Bakar al-Jassas (w. 981), seorang sarjana fikih dari mazhab Hanafi yang dikenal dengan karyanya Ahkam al-Quran itu, mengatakan bahwa hadis yang mutawatir (yang validitasnya tak bisa diragukan karena diriwayatkan melalui banyak jalur dan karena itu mustahil bohong) bisa menghapuskann, me-nasakh, Quran. Tetapi ini tidak berlaku untuk apa yang disebut dengan hadis ahad (hadis yang diriwatakan melalui jalur tunggal atau beberapa jalur yang tak mencapai kualitas hadis mutawatir). Pandangan semacam ini, secara implisit, menyarankan bahwa hadis bisa “mengatasi” Quran, bahwa hadis memiliki kedudukan yang sama dengan kitab suci Islam itu. Bagi saya, pandangan semacam ini jelas problematis. Bagaimanapun Quran tak bisa disamai oleh sumber-sumber manapun dalam Islam, termasuk oleh hadis, seberapapun kuatnya jalur sanad atau periwayatan hadis itu. Saya kira semua sarjana Muslim sepakat bahwa status tekstual Quran begitu kokoh dalam pandangan keimanan umat Islam, sebab ia adalah teks yang “qath’iyy al-wurud”: teks yang sampai kepada kita melalui sumber-sumber yang tak bisa diragukan lagi. Sementara hadis, seberapapun kuatnya, tak bisa mecapai level itu. Pandangan yang mengatakan bahwa Quran bisa dihapuskan oleh hadis nyaris sama dengan mengatakan bahwa UU di negara kita bisa membatalkan konstitusi negara. Tentu saja, hal semacam ini mustahil bisa diterima oleh akal sehat. Sebab secara hirarki, kedudukan Quran berada di atas hadis, sebagamana kedudukan konstitusi berada di atas UU. Memang, para fukaha atau ahli hukum Islam yang membolehkan penghapusan Quran oleh hadis memiliki paradigma berpikir yang berbeda. Bagi mereka, kedudukan hadis yang mutawatir harus disetarakan dengan Quran, meskipun ia bersumber dari seorang manusia, yaitu Nabi Muhammad. Sebab, dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi, Muhammad adalah sosok yang “infallible”, tidak mungkin berbuat salah. Pernyataan dan tindakan Muhammad sebagai seorang nabi adalah “ma’shum” atau terlindungi dari segala kemungkinan salah, dan karena itu kedudukan nyaris sama “suci”-nya dengan wahyu Tuhan. Saya sendiri, masih sulit menerima pandangan semacam ini. Kalaupun pandangan tentang kemaksuman, infallibility nabi bisa kita terima (dan pendapat para sarjana Islam mengenai isu ini juga beragam, tidak tunggal, monolitik), kita tetap saja sulit menerima kenyataan bahwa Quran dan hadis/sunnah secara “ontologis” dan “epistemologis” harus dipandang setara kedudukannya. Bagaimana menempatkan hadis dan sunnah secara tepat dalam kehidupan umat Islam sekarang ini? Masalah yang rumit ini tidak bisa diulas secara sederhana dalam artikel pendek seperti ini. Tetapi saya akan mengemukakan pokok-pokok besar padangan saya mengenai hadis dan bagaimana umat Islam di era modern ini harus menempatkannya secara tepat dan proporsional. Berikut ini adalah sejumlah tesis saya mengenai hal ini. Tesis pertama: lepas dari kerumitan dan persoalan yang mengitari hadis sebagai sebuah disiplin kajian (sejak dahulu hingga sekarang), kita tak bisa mengabaikan bidang ini in toto, secara keseluruhan. Hadis dan sunnah adalah fakta yang sudah ada di depan kita, sehingga amat mustahil kita mengabaikannya sama sekali. Dengan demikian saya berbeda pandangan dengan kubu yang disebut mazhab inkar al-sunnah, atauqur’aniyyun, kubu yang mengingkari validitas sunnah/hadis sama sekali dan mencukupkan diri pada Quran. Meskipun saya bisa memahami sejumlah alasan yang dikemukakan oleh mazhab “negasionis” ini, tetapi solusi yang mereka tawarkan sama sekali kurang masuk akal, tidak realistis. Mengabaikan hadis dan sunnah sama saja dengan mengabaikan warisan intelektual raksasa yang ditinggalkan oleh generasi yang lampau. Kita harus menerima warisan ini, meskipun sikap kita terhadapnya tetap harus kritis. Saya tidak sepakat dengan sikap sebagian kalangan Islam yang menerima begitu saja hadis, asal dia sahih, tanpa melalui sebuah penalaran dan evaluasi yang kritis. Tesis kedua: meskipun hadis adalah fakta yang tak bisa ditolak oleh umat Islam sekarang, tetapi kita juga harus sadar bahwa, berbeda dengan Quran, hadis adalah bidang yang penuh dengan kontroversi dan perdebatan sejak awal. Ini karena sekurang-kurangnya dua alasan. Pertama: kegiatan mengoleksi hadis secara “profesional” dan intensif berlagsung jauh setelah Nabi Muhammad meninggal. Kegiatan ini baru berlangsung pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Artinya: sekurang-kurangnya ada jeda satu abad antara wafatnya Nabi dan kegiatan “mengingat” dan “meng-kodifikasi” rekaman tentang Nabi itu. Amat sulit membayangkan sebuah ingatan manusia bisa bertahan dengan baik tanpa cacat dan distorsi apapun dalam rentang waktu yang panjang seperti itu. Kedua: penulisan hadis sejak awal sudah merupakan kegiatan yang kontroversial. Nabi sendiri, pada masa hidupnya, malarang sahabatnya untuk menulis ucapan dan tindakannya dalam sebuah sahifahatau dokumen tertulis. Dalam sebuah hadis Abu Sai’d al-Khudzri yang diriwayatkan Muslim dan sejumlah perawi lain, Nabi membuat penegasan semacam ini: La taktubu ‘anni syai’an siwa al-Quran, fa-man kataba ‘anni ghair al-Quran fal-yamhuhu. Jangan menulis dariku sesuatu apapun selain Quran. Sesiapa yang menulis dariku selain Quran, dia harus menghapusnya.
Salah satu sahabat Nabi yang bernama Abu Musa al-Asy’ari (sahabat yang pernah diutus Nabi menjadi gubernur di Yaman dan sekaligus menjabat kadi di sana) menunjukkan ketidak sukaannya dengan kegiatan kodifikasi hadis. Dia antara lain mengatakan: Inna Bani Isra’ila katabu kitaban wa-t-taba’uhu wa taraku al-Taurata. Bangsa Yahudi menulis buku yang kemudian mereka ikuti, dan akhirnya mereka meninggalkan Taurat. Lepas apakah pengamatan Abu Musa ini tepat atau tidak (catatan saya: bangsa Yahudi tidak pernah meninggalkan Taurat, walau ada tradisi oral dan tertulis yang merupakan komentar atas kitab itu, seperti mishnah, midrash, dll.), pernyataan itu dengan terang sekali menggambarkan sikap yang skeptik dan resisten terhadap kegiatan penulisan hadis di kalangan sahabat. Oleh karena itu, selama periode sahabat Nabi, tak ada buku koleksi hadis yang masih tercatat hingga sekarang. Sebab, mereka enggan untuk melakukan pencatatan dengan alasan akan mengacaukan dan memalingkan perhatian umat Islam dari Quran. Mereka hanya ingin agar fokus keberagamaan umat Islam, sebagaimana dipesankan oleh Nabi sendiri, berpusat sepenuhnya pada Quran. Memang ada hadis-hadis lain yang seolah-oleh bisa dipahami sebagai izin Nabi untuk penulisan hadis, seperti hadis Abi Syah yang terkenal. Tetapi hadis ini diungkapkan dalam redaksi yang tak seterang dalam hadis Abu Sa’id al-Khudzri yang diriwayatkaan oleh Muslim di atas. Hadis tentang larangan menuliskan hadis diungkapkan oleh Nabi dengan kalimat yang tegas dan tanpa ambiguitas apapun:La taktubu ‘anni syai’an siwa al-Quran – jangan menulis sesuatu dariku selain Quran. Tentu saja, para sarjana Islam belakangan mencoba menafsirkan larangan Nabi itu begitu rupa sehingga seolah-olah larangan itu tidak berlaku mutlak. Kegiatan menulis hadis kemudian diterima secara “unanimous” oleh umat dan sarjana Islam sepanjang masa, walau Nabi sendiri pada awalnya melarangnya. Apakah kita bisa mengatakan bahwa umat Islam telah melanggar larangan Nabi? Saya ingin menambahkan komentar sedikit mengenai larangan penulisan hadis ini. Kita tak bisa memisahkan sentimen negatif di kalangan generasi Islam awal atas kegiatan penulisan hadis itu dari konteks kebudayaan masyarakat Arab pada umumnya. Pengaruh kebudayaan oral/lisan masih sangat kuat di masyarakat Arab saat itu. Kegiatan menulis dianggap sebagai tindakan yang kurang bergengsi, inferior. Mengingat jauh lebih dihargai dan prestisius ketimbang menulis. Yang hendak mengikuti perdebatan di kalangan sahabat dan generasi setelah itu mengenai status boleh tidaknya penulisan hadis, bisa merujuk buku yang sudah klasik dari Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,al-Sunnah Qabl al-Tadwin (edisi ke-3, 1998). Intinya: Bagaimana mungkin kita menyamakan Quran dengan hadis yang kodifikasinya sudah diperdebatkan secara serius sejak awal, dan baru diterima secara normal jauh setelah (sekitar satu abad lebih) Nabi wafat? Meskipun kodifikasi Quran pada era Abu Bakar, khalifah pertama Islam, juga dipersoalkan oleh sebagian sahabat, tetapi masalah ini dapat diselesaikan sejak dini sehingga penulisan Quran dilakukan tak terlalu jauh dari wafatnya Nabi. Dengan catatan-catatan ini, kita harus membaca hadis dengan sebuah “caveat” atau sikap hati-hati. Apalagi dalam perkembangannya, hadis mengalami masalah yang serius: yaitu kegiatan pemalsuan (wadl’ al-hadis). Meskipun sarjana Islam klasik mengembangkan metode “filtering-out”, penapisan atas hadis-hadis palsu, apa yang disebut dengan ilmu kritik sanad (jalur transmisi hadis), tetapi metode itu bukan tanpa soal. Tesis ketiga: Dengan berpegangan pada tesis awal bahwa hadis tidak bisa disamakan, baik secara ontologis maupun epistemologis, dengan Quran, maka bagaimana kita mendudukkan hadis secara proporsional? Secara umum, kita bisa mengatakan bahwa dari segi hirarki, kedudukan hadis jelas berada di bawah Quran. Karena itu, isi hadis tidak bisa bertentangan dengan Quran. Jika ada kontradiksi antara keduanya, kita tak bisa lain kecuali harus mengambil sikap tegas: memihak Quran atau hadis. Sikap yang masuk akal jelas yang pertama: memihak Quran. Tentu saja dalam prakteknya tidak bisa hitam-putih semacam ini. Para sarjana Islam mengembangkan sejumlah metode untuk melakukan hamonisasi (al-jam’) antara ayat dan hadis yang saling bertentangan. Kedudukan hadis yang paling masuk akal terhadap Quran ialah sebagai penjelasan, klarifikasi, atau apa yang dalam teori hukum Islam disebut bayan. Tetapi sebuah penjelasan tidak bisa bertentangan dengan teks yang dijelaskan. Kedudukan hadis sebatas memberikan klarifikasi atas bagian-bagian dalam Quran yang masih ambigu. Tidak bisa lebih dari itu. Mengatakan bahwa hadis bisa me-nasakhatau menghapuskan ayat dalam Quran jelas menempatkannya pada kedudukan yang jauh ke luar dari proporsinya. It’s too much! Pertanyaan yang saya duga ada di pikiran Anda mungkin adalah sebagai berikut: Apakah mungkin ada hadis yang bertentangan dengan Quran? Jawabannya: mungkin dan ada contohnya. Yaitu hadis riwayat Bukhari yang terkenal: Man baddala dinahu fa-qtuluhu — sesiapa yang mengganti agamanya (keluar dari Islam — murtad), maka bunuhlah. Hadis ini jelas bertentangan dengan isi Quran, sebab di dalam kitab suci itu tak ada penegasan sama sekali tentang hukum bunuh bagi seorang yang murtad. Hukum bunuh dalam Quran hanya berlaku dalam satu kasus saja, yaitu pidana pembunuhan yang disengaja (al-qatl al-muta’ammad, contemplated murder). Ini yang disebut dengan hukum qisas atau hukum bunuh balas bunuh (lex talionis). Berhadapan dengan dua teks yang bertentangan seperti ini, kita harus mencari jalan keluar. Ada sejumlah solusi yang ditawarkan oleh para sarjana Muslim yang tak bisa saya ulas secara detil dalam artikel kali ini (mungkin saya akan menuliskannya secara terpisah). Tetapi intinya adalah bahwa hukum bunuh dalam hadis itu tak bisa diterima sebab berlawanan dengan Quran. Hukum bunuh bagi seorang murtad tak dikenal dalam Islam sesuai dengan visi universal Quran mengenai kebebasan memeluk keyakinan (no compulsion in religion, la ikraha fi al-din – QS 2:256). Tesis keempat: Sebagai penjelasan atas Quran, tentu hadis bisa kita pandang sebagai cara untuk menerjemahkan visi dan pesan Quran dalam konteks tertentu, yaitu bangsa Arab pada abad ke-7 Masehi. Sebagai penjelasan, hadis bersifat relatif, sementara yang absolut adalah pesan-pesan universal dalam Quran. Tetapi tidak semua hadis bersifat spesifik dan “time bound”, terikat dengan waktu. Ada sejumlah hadis yang juga memiliki pesan-pesan universal yang berlaku sepanjang zaman. Oleh karena itu, kita harus memilah antara hadis yang universal dan partikular. Contoh hadis yang berisi pesan universal ialah sabda Nabi yang terkenal yang diriwayatkan Ibn Majah dan al-Daruqutni:La darara wa la dirara. Tak boleh mencelakai orang lain atau diri sendiri. Hadis ini per content bisa kita sebut sebagai hadis universal karena isinya mengandung prinsip yang berlaku sepanjang masa:principle of no harm, prinsip tak boleh menimbulkan kecelakaan pada orang lain. Hadis ini sejajar dengan kaidah utama dalam filsafat liberalisme modern: Anda bebas berbuat apa saja, kecuali perbuatan yang mengganggu kebebasan orang lain. Sementara itu, banyak hadis yang dari segi isi dan kandungannya adalah spesifik, terkait dengan situasi tertentu, dan tidak bisa berlaku universal. Hadis-hadis yang menyangkut hukum publik biasanya bisa kita ketegorikan sebagai hadis partikular dan tak bisa lagi kita berlakukan saat ini karena konteksnya yang sudah berbeda. Contoh hadis semacam ini ialah hadis Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam hadis ini, konon Nabi bersabda: Lan yufliha qawmun wallaw amrahum imra’atan. Bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada perempuan tak akan berhasil/beruntung. Apakah berdasar hadis ini kita lalu beranggapan bahwa perempuan tak boleh menjadi kepala daerah atau presiden? Tentu saja tidak. Hadis ini terkait dengan situasi tertentu dan tidak bisa kita telan mentah-mentah pada zaman sekarang. Dengan tesis-tesis semacam ini, saya berharap kita bisa menempatkan hadis pada kedudukannya yang proporsional: tidak menolaknya secara keseluruhan, tetapi juga tidak menerima apa adanya, tanpa sikap kritis. Sikap sebagian kalangan Islam saat ini yang langsung menerima hadis mentah-mentah hanya karena ia adalah hadis sahih, jelas bermasalah. Penerimaan tak kritis pada hadis isemacam ini, dalam bentuknya yang paling vurlgar, menimbulkan fenomena keberagamaan brutal ala ISIS.[]
|