View: 3806|Reply: 11
|
Hey Kamu... Saya Cuma....
[Copy link]
|
|
Kerana demam saya tidak reda, dan rasa hati yang hiba, saya menulis apa tertera diminda saya..
ia cuma monolog, yang ntah apa2... |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by bintang at 4-8-2009 07:09
Dulu rambutmu sampai ke hujung telinga.
Lalu kamu memotongnya. Saya tidak mengata apa-apa. Bagi saya, seperti apa pun rambutmu, kamu tetap teman yang baik. Kita tertawa waktu itu, menyendok aiskrim dari mangkuk di siang hari musim panas, di tiup angin dari kipas angin murah itu. Rambut saya terbang. Saya berusaha mengikatnya menjadi seperti ekor kuda. Kamu masih asyik dengan aiskrim yang saya bawa tadi, perisa strawberi keemasan satu liter. Lumayan memenuhi perut dan meredakan panas badan.
Lalu saya bertanya tentang kopiahmu. Kopiah kumalmu yang tak pernah kamu lepaskan dari kepala. Kamu yang tertawa sekarang, tidak menjawab apa-apa.
Tidak tahukah kamu, ada kerlip dari bola matamu. Seperti kunang-kunang, yang pasti saya suka sekali melihatnya. Saya menatap kamu asyik.
Kamu bertanya, "Apa?"
Saya menjawab, "Kacamatamu kotor", lalu saya meraih kacamata itu. Meniupkan nafas dan mengelapnya dengan hujung lengan baju kurung saya. Kamu mengucapkan terimakasih. Untuk aiskrim, dan kacamata.
Saya tertawa, kamu juga.
Lalu waktu lama berlalu.
Kamu sibuk, saya juga. Kehidupan menyeret kita ke jalan yang berbeza, sampai siang itu tiba. Siang yang sama panasnya dengan siang waktu dulu kita makan aiskrim strawberi keemasan satu liter.
Kamu lebih dewasa, saya juga barangkali. Rambutmu dipangkas habis. Kamu kelihatan tampan. Saya melontarkan kata-kata spontan. Kamu tertawa, menawarkan tumpangan. Rambut saya sudah tidak kelihatan lagi kerana saya kini bertudung. Dan kamu berkata; sungguh manis sekali. saya tersipu.
Kamu bertanya, apakah saya tidak merasa panas?
Saya kata iya. Lalu kita makan aiskrim lagi. Kali ini tidak di teras kamarmu, tidak sambil ditiup kipas angin murahan. Kita makan aiskrim dikafe kecil. Berborak. Tertawa. Seperti dulu. Saya senang, kamu tidakberubah. Kamu masih sama.
Masih ada kerlip bak kunang-kunang di bola mata coklat muda itu.
Masih tetap dengan kopiah lusuhmu.
Masih murah dengan senyum seperti dulu.
Kamu mencedok aiskrim saya. Mengambil blueberry yang ada di sana-sini. Kamu lalu menyendoki aiskrim strawberi di mangkukmu ke mangkuk saya. "Tukar", lalu kamu tertawa lagi.
Saya tertawa mengikutimu. Makan aiskrimmu dengan nikmat, "Terimakasih"
"Sama-sama"
Lalu malam itu, kamu mengajak saya minum kopi bersama. Lagi-lagi di kafe.
Kita bersantai lama-lama, minum kopi, menonton siapa saja yang melewati di jalanan. Kamu memakan biskut keju saya. Katamu, "Biskut keju tidak sepadan dengan kopi". Saya menghirup sedikit kopimu yang terlalu pahit.
Malam itu, kita berubah. Semuanya juga berubah.
Karena esok harinya, saya memeluk lenganmu.
Karena esok harinya, kamu mencium saya.
Kita lebih sering bersama.
Kita tertawa.
Tapi tidak lama.
Karena kamu pergi entah ke mana.
Sekarang sudah terlalu lama berlalu, dan saya masih ingat rasa aiskrim strawberi yang manis-masam, di siang hari terik yang ditiup angin sepoi dari kipas angin murahan itu.
Hari itu dingin dan kelabu. Langit juga dingin dan kelabu.
Saya menaruh sekotak aiskrim strawberi didepan gambarmu. Berharap kamu juga masih ingat rasa aiskrim strawberi manis-masam yang saya beli disiang itu.
Kipas angin murahan itu masih saya simpan. Ada dalam kotak di stor. Saya tidak pernah mengeluarkannya lagi. Terlalu manis-masam rasa anginnya. Semuanya tentang kamu. |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by bintang at 4-8-2009 21:26
Saya bermonolog lagi....
==================================================================
Padang rumput itu sepi, nyaris gelap gulita. Tapi tidak. Bau samar-samar bunga kemboja berembun menguap di mana-mana, atmosfera yang sering dihirup bersama beberapa tahun belakangan ini. Jadi saya tidak merasa asing dengan sekitarnya. Tapi tidak dengan kamu. Kamu menggigil dalam kemeja lengan panjang dan jaket tebal.
"Dingin?", saya bertanya setengah tertawa.
"Tidak", kamu tertawa, tersenyum, terdiam. Menatap.
Sepi.
Kamu dan saya berbaring di rumput yang basah, ada embun. Menatap langit. Bulan muram, kekuningan mirip seorang yang sakit.
"Kita seperti pasangan roman picisan"
"Memang"
Diam. Tidak ada yang bicara.
Jari kamu tidak bergerak kemana pun selain menggigil di lengan yang mengerut di bawah jaket. Memang terlalu dingin.
Jari saya juga tak bergerak kemana pun selain memainkan rumput-rumput basah.
Kamu dan saya bicara. Tentang banyak hal.
Lalu kita pulang.
Kabar itu datang seperti halilintar yang menikam tanah di hujan deras. Tiba-tiba. Mengejutkan. Menyakitkan.
Semua berakhir saat harus dimulai.
Saya mengelapkan mata, mengibaskan butir-butir air yang hinggap di segenap kelopak mata. Peti belum ditutup. Wajah itu diam, kaku. Tangan bersilang di dada. Pucat. Dingin.
Saya menghulurkan tangan, meraih jemari kaku itu.
Suara teriakan dibelakang saya. Tapi saya tidak memandang, tidak peduli. Saya terus meraih. Menggenggam.
Memejamkan mata.
Mengingat.
Bahawa jemari itu pernah membelai wajah saya, mengelus lengan saya, menggenggam jemari saya. Nafas yang lembut berbisik ke telinga saya kata cinta yang manis, yang mendesah, yang tertawa bersama, yang menjalin rindu.
Saya tidak ingin menangis. Saya membuka mata, menggenggam jemari itu terakhir kali sebelum saya membiarkan diri diseret menjauh.
Peti ditutup.
Aroma kayu pekat dan tanah basah.
Saya masih ingat aroma kemboja dan tanah basah berembun.
Saya memandang peti itu perlahan turun. Dan saya diam. Selamat tinggal tidak saya sanggup mengucapkan. Saya tahu, jemari itu akan selalu ada. Di hujung jemari saya. |
|
|
|
|
|
|
|
Kamu...
Teman saya bilang, kamu di syurga ditemani bidadari-bidadari cantik, benar?
Kamu..
Boleh tidak kamu berbicara sama Tuhan, supaya bidadari-bidadarinya dibuat mirip saya saja?
Soalnya,...
Saya cemburu... |
|
|
|
|
|
|
|
Kaki saya benar-benar sudah tidak dapat dikendalikan, kebencian dan cinta saya yang selama ini membuat kaki saya selangkah demi selangkah mendekatinya. Pisau yang saya pegang perlahan-lahan mengangkat ke tubuh kamu. Berhenti tepat di dada kamu, di mana dari balik kulit yang sawo tersebut terdapat jantung yang sedang berdegup dengan kencang, sangat menyakiti di pendengaran saya seolah-olah saya mendengar jelas degupannya.
Kamu menangis, teriak minta tolong, mengumpat serta sumpah serapah kepada saya.
Persetankan semua itu.
Saya sudah tidak peduli akan teriakan kamu kerana memang saya memaksakan pendengaran saya untuk menutup semua signal yang masuk kecuali degup jantung kamu. Saya perintahkan tangan saya untuk menjalankan tugas. Kini pisau bedah yang saya pegang telah melukai dada bagian kiri atas, tepat di mana jantung kamu terletak.
Kamu teriak dengan kerasnya.
Ketakutan terlihat jelas di wajah kamu yang tampan. Saya sungguh tidak percaya, dalam keadaan takut pun kamu masih setampan itu. Oh Tuhan… Kuatkanlah tekad saya, jangan kerana ketampanannya semua yang telah saya lakukan sejauh ini sia-sia.
“Sia-sia! Sia-sia kamu teriak, di rimba ini tidak ada siapa pun. Teriaklah sepuasnya. Biarkan rasa sakit itu membunuhmu… sama halnya rasa sakit saya terhadap kamu!” bagai halilintar saya berteriak puas, namun di dalam hati saya turut tersiat.
Sungguh saya tidak berniat menyakti kamu, namun hati saya sudah terlanjur dilukai kamu, hati saya hancur. Kamu mengabaikan saya. Salahkan saya jika saya bergantung pada kamu? Salahkah saya jika saya ingin memiliki kamu? Salahkah saya jika saya terlalu mencintai kamu?
Cinta?
Dia menangis… Teriak… Minta ampun. T
Tuhan…
Mengapa Engkau meciptakan rasa yang menyiksa seperti ini. Sunguh saya tidak ingin menyakitinya.
Dan...
Saya terjaga. Tiada pisau bedah di tangan saya.
Tiada kamu.
Saya cuma bermimpi adanya.
Oh, cuma mimpi.
Terimakasih Tuhan, kerana ia cuma mimpi.
Saya masih tidak membunuh kamu. |
|
|
|
|
|
|
|
Saya pernah menulis surat cinta. Surat cinta untuk lelaki yang selalu saya harapkan. Surat cinta yang begitu sederhana dan apa adanya. Tanpa bahasa puitis yang romantis. Tanpa kata–kata yang penuh dengan cinta. Kerana saya tidak pandai bercinta dengan kata.
Jangan dibayangkan surat cinta saya ditulis di selembar kertas berwarna merah dadu dengan gambar hati yang membara dan saya masukkan envelope yang berwarna senada. Jangan pula dibayangkan surat cinta saya ditulis pada selembar kertas berbau kasturi atau cendana. Apalagi ada gambar lipstik saya yang menempel di bawahnya. Saya menulis surat cinta hanya di selembar kertas berwarna putih dengan warna envelope yang sama. Tidak ada harum yang istimewa kecuali bau kertas itu sendiri, dan hanya nama yang saya tulis dengan ukuran sangat kecil yang saya tulis di sebelah kanan bawah.
Saya akan memberikan surat itu kepadanya, saat saya sudah siap. Tapi sampai sekarang rasa siap itu belum jua datang. Surat itu hanya berani saya selipkan di antara lipatan buku harian saya. Saya tak berani memberikannya, kerana saya takut kehilangannya. Kerana kami telah berjanji akan menjaga rasa persahabatan ini tanpa ada cinta. Mungkin dia juga (pernah) menulis surat cinta untuk saya yang mungkin juga bernasib sama dengan surat cinta saya. Hanya sebagai penghuni buku harian!
Kadang saya merasa jika dia juga menaruh rasa yang sama. Dia mencintai saya lebih dari sahabat. Namun, sekian lama saya menantinya, tak pernah sekalipun dia melanggar janji kami.
Kami tertawa bebas, berteriak bebas, dan bergerak tanpa batas. Kegiatan rutin yang selalu kami lakukan tanpa ada yang peduli. Suatu ketika, setelah nasib surat cinta saya yang tak ada perkembangan. Dia datang kepada saya. Memberikan setangkai mawar putih kepada saya. Waktu itu, pipi saya semerah mawar merah mekar menahan gejolak cinta yang meletup-letup. Saya menerimanya, berharap dia akan melanggar janji kami, kemudian menjadikan saya mawar putih di hatinya.
Fikiran saya melambung tinggi, khayalan saya sebentar akan dapat direngkuh. Saya tersenyum lebar selebar hati saya kala itu. Tapi tidak!! Dia hanya diam tanpa kata dan jawaban, kemudian dia melangkah meninggalkan saya begitu saja. Membiarkan saya dalam kebisuan dengan hati menganga membawa cinta yang setengah telanjang.
Saya sakit kala itu. Kecewa. Butiran bening mengalir satu persatu dari mata bulat saya.
Sejak saat itu, saya hanya diam, dia pun begitu. Tanpa ada pertanyaan dan jawaban di antara kami. Tak ada lagi teriakan bebas, tawa lepas dan gerak tanpa batas dari kami. Semua menjadi membosankan. Saya mencintainya namun saya juga membencinya. Saya patah hati sebelum saya berhasil menyambung hati itu sendiri. Entahlah, apalah erti mawar putih itu.
Mawar putih itu mengingatkan saya pada surat cinta yang pernah saya tulis untuknya. Hanya menjadi bahagian penghuni baru di tempat yang tak semestinya. Seharusnya, mawar putih itu bertahta abadi di dalam hati saya. Bukan di sudut kamar saya. Sampai suatu ketika, wangi mawar putih itu berganti dengan bau debu, warnanya pun berubah menjadi biru. Mungkin mawar itu mengerti, jika dia tak layak berada di kamar saya. Hingga saya memutuskan untuk menjadikannya penghuni baru tong sampah. Saya sudah bosan melihat mawar itu teronggok sepi di sudut kamar saya.
Dia tak juga mahu memulai bicara, begitu pun saya. Kebisuan yang mungkin sudah biasa. Kerana bukan mulut kami yang berkata namun hati kami. Saya tahu dia mencintai saya lebih dari sahabat. Mungkin dia juga tahu kalau saya selalu menunggu ucapan cinta darinya. Tapi mengapa saya harus menunggu terlalu lama? Saya bosan tapi saya tak pernah dapat berpaling. Saya tak tahu apa yang ada di benaknya.
Semua terjadi begitu cepat, aksi diam kami sudah berjalan lebih dari satu bulan. Saya semakin takut kehilangan dia, tapi saya juga tak akan mampu memulai bicara dengannya. Teringat lagi surat cinta saya untuknya. Saya ingin membuangnya dan menghilangkan semua cinta saya untuknya. Saya membuka envelope putih yang kini sudah ada noda berwarna cokelat yang tak tahu dari mana asalnya. Saya baca lagi kalimat pertama, saya menangis. |
|
|
|
|
|
|
|
Saya harap...
Kita dapat berjalan bersama, walau di bawah hujan dan badai salju yang lebat. Tetap melangkah walau angin menerbangkan kita sepertinya anai-anai yang terserak, tetap dapat bernafas meski udara telah kering tiada lagi kelembaban.
Saya berilusi,
betapa indahnya berjalan bersama kamu tanpa alas kaki di atas rumput hijau yang basah kerana embun. Betapa nikmatnya titis hujan yang turun pada pelataran kita. Meruapkan aroma kesegaran yang penuh pengharapan. Melepas segala penat yang telah kita lalui sepanjang langkah kita mengayun.
Hari itu,
kita akan melepaskan segala keletihan dengan perjalanan panjang yang kita lalui, sehingga kita menemukan; Hari ini.
Setiap malam saya mengingati kamu. Mata saya telah melihat banyak bintang-bintang berjatuhan di saat kamu lena dipelukan mimpi. Saya sering tertanya kepada diri saya sendiri betapa di atas dunia ini terdapat begitu banyak pasangan yang saling mencintai tetapi mengapa saya yang menjadi kekasih tak bahagia? |
|
|
|
|
|
|
|
kelembaban |
|
|
|
|
|
|
|
Nafas saya terasa dekat, namun kamu begitu jauh. Sepertinya malam kemarin, bintang masih terlihat oleh saya, meskipun jauh. Saya tahu kamu penggemar bintang, dan kini... kamu sedang melihat bintang.
Semoga secangkir kopi dapat menjadi teman akrab saya malam ini, mendengarkan pahitnya hati saya yang saya harap dapat seharum kemboja di laman. Menampung keluhan-keluhan saya, sampai saya menyerah dan terlelap dalam pelukan malam. Pahit, hitam... namun harum.
Saya saja yang belum menemukan harum itu. Seperti seorang kanak kanak yang pertama kali meneguk secangkir kopi, pahit dan hitam. Tapi semua orang mengaguminya, menjadikannya minuman berkelas di kedai-kedai para eksekutif.
Saya hanya belum menemukan harum itu. Seperti seorang kanak kanak yang pertama kali meneguk secangkir kopi, ia belum menemukan nikmatnya. Ia cuma hanya merasakan pahit dan hitam. Namun jika ia setia untuk meminum kopi itu, ia kelak akan menemukan keharuman. Ia akan menyedari nikmat yang selama ini orang kagumi.
Saya baru saja merasakan pahit dan hitam. Namun saya tahu, jika saya setia saya akan menemukan keharuman. Keharuman yang konon diagung-agungkan, keharuman yang konon begitu dalamnya. Keharuman yang menginspirasi berjuta manusia dan pujangga. Keharuman dari hidup. Keharuman rasa. Keharuman cinta. |
|
|
|
|
|
|
|
Hey bintang... ni luahan hati kamu yaaa... aduhhhh... berbunga-bunga hati bila baca... |
|
|
|
|
|
|
|
Hehee... kadangkala bila rasa terjerut ... |
|
|
|
|
|
|
| |
Category: Belia & Informasi
|