jf_pratama Publish time 1-7-2007 11:21 AM

Hajatan Jazz Tanah Melayu
FRANS SARTONO

Melayu jangan gamang untuk masuk ke dunia jazz. Itulah yang diserukan seniman Riau yang menggelar Malacca Strait Jazz 2007, perhelatan jazz di Pekanbaru, Riau, pada 28-29 Juni 2007. Dengan jazz, Riau ingin menyapa globalisme. Itu kata gubernurnya.

Halaman Bandar Seri Raja Ali Haji, Pekanbaru, pada Jumat dan Sabtu (29 dan 30 Juni) malam tampak seperti pasar malam. Saat itu Riau sedang menggelar perhelatan jazz. Hajat digelar dalam rangka perayaan 50 tahun Provinsi Riau: Golden of Riau, tema resminya.

Festival yang diprakarsai Yayasan Riau Jazz Turbulence itu diikuti 23 grup, antara lain kelompok dari Wayan Balawan, Arief Setiadi, Harry Toledo, Ansambel Kolegium Musikum: Unimed dari Medan dengan musisi tamu Ben Pasaribu dan Geliga, kelompok jazz dari Pekanbaru.

Festival juga menampilkan Trio Dingo (Australia) yang berawak perkusionis kawakan Ron Reeves, Kim Sanders, dan Blair Greenberg; kelompok jazz dari Kuala Lumpur dan Rick Smith dari Amerika Serikat. Itu mengapa festival ini diembel-embeli sebutan antarbangsa,

Harry Toledo, pemain bas yang oleh pembawa acara disebut sebagai "budak Rengat"—maksudnya pria kelahiran Rengat, Riau—disambut meriah hadirin. Harry yang dikenal sebagai personel grup Cherokee dan Bali Lounge itu antara lain membawakan komposisi dari Fourplay.

Tak kalah seru adalah sambutan untuk gitaris Wayan Balawan. Ia mendemonstrasikan teknik tapping, bermain gitar dengan cara mengetuk dawai gitar, bukan memetiknya. Dikawal pemain bas Adi Darmawan, Balawan membawakan St Thomas, komposisi kondang Sonny Rollins. Nomor vokal dan gitar andalannya, Semua Bisa Bilang, yang pernah dipopulerkan Charles Hutagalung, mendapat respons paling seru.

Mengapa jazz? Pertanyaan itu mengemuka dalam Seminar Apresiasi Musik Jazz di Hotel Aryaduta, Pekanbaru, sebagai bagian dari festival. Pertanyaan datang dari guru-guru kesenian dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan taman kanak-kanak.

Ben Pasaribu, komponis dan musikolog yang menjadi direktur artistik Malacca Strait Jazz dan pembicara, menjawab dengan memberi contoh auditif. Ia memperdengarkan musik dari Geliga yang memasukkan unsur musik Melayu dalam jazz. Terdengarlah lagu "tradisional" Tanjung Katung yang liriknya berformat pantun Melayu: Tanjung Katung airnya biru/ Tempat nak dara mencui muka/ Sedang sekampung hatiku rindu/ kononlah pula jauh di mata.

Sekitar 50 tuan dan puan peserta seminar yang mengenakan pakaian Teluk Belanga dan baju kurung itu terenyak girang mendengar musik berasa Melayu di tengah rasa jazz.

"Ini musik apa Bapak-Ibu?" tanya Ben ramah.

Mereka serentak menjawab, "Musik Melayuuu…!"

"Apa ada musik jazz-nya?" tanya Ben lagi.

Dan, lagi-lagi mereka serentak menjawab, "Adaaa…!"

"Itu kekayaan Melayu dalam bentuk jazz. Jadi beli satu dapat dua: Melayu dan jazz," kata Ben yang disambut tawa peserta.

"Perpaduan antara Melayu dan jazz itu merupakan hasil dari anak-anak Ibu sendiri, Geliga," tutur Ben.

Akar dan umbi

Malacca Strait Jazz menjadi semacam cara orang Melayu menyapa dunia. Setidaknya itu menurut Gubernur Riau HM Rusli Zainal yang disampaikan dalam sambutan tertulisnya pada katalog festival.

"Kita hendak berkenalan dengan dunia, tetapi mesti diawali dengan cara kita menyapa dunia.... Musik jazz adalah salah satu pilihan dalam kerimbunan cara menyapa itu," kata Gubernur.

Bentuk auditif sapaan itu terdengar pada cara Geliga membawakan Tanjung Katung. Kelompok yang digagas pemerhati kebudayaan Melayu, Dr Yusmar Yusuf, itu melakukan semacam "domestikasi" jazz. Mereka, misalnya, memasukkan unsur musik zapin Melayu ke dalam jazz pada lagu Ya Zapin. Lirik lagu juga digali dari lanskap kultur Melayu. Mereka bicara soal sensasi alas kaki baru menjelang Hari Raya Lebaran dalam lagu Kasut Baru. Atau tentang permainan gasing dalam Main Gasing.

Nyatanya, Geliga mendapat sambutan hangat hadirin festival. Mereka berawak Eri Bob pada piano, Arman Rambah (akordeon), Yusman Yahya (saksofon), Iwan (gitar), Gusriyanto (bas), Frankie (drum), Mat Rock (rebana), Andi (tabla). Kelompok yang dibentuk tahun 2003 telah membuat dua album, yaitu Geliga dan Dang Bulan Nan Julang. Keduanya mereka klaim sebagai jazz Melayu.

"Melayu jangan gamang masuk dunia jazz. Kita punya bekal. Kita bawa akar umbi Melayu dalam jazz," kata Yusmar Yusuf yang bersama Ben Pasaribu menjadi Direktur Malacca Strait Jazz.

Sejauh ini, menurut Yusmar, terkonstruksi suatu anggapan, kebudayaan Melayu hanya berhenti pada tradisi itu-itu saja alias defensif. Melayu dalam pandangan Yusmar harus "menyerbu". Dalam aksi menyerbu itu terkandung unsur penggunaan strategi, mengepung. Ia memberi contoh zapin Melayu sebagai salah satu hasil "serbuan" Melayu. Musik zapin yang berasal dari Arab-Persia itu menjadi zapin Melayu setelah melalui proses panjang akulturasi.

Bentuk konkret itu, menurut Ben Pasaribu, tersimpan dalam kekayaan harmoni dan ritme musik Melayu. Potensi tersebut memungkinkan Melayu masuk ke dalam jazz.

"Mereka seperti dua bersaudara yang bertemu," kata Ben.

Hadirin dalam Malacca Strait Jazz yang terdiri dari anak-anak, kaum muda, hingga orangtua menjadi saksi telinga tentang pertemuan dua saudara tersebut. Setidaknya, mereka mendapat pengalaman estetika, pengalaman menikmati Melayu yang bergaul dengan dunia lewat musik.

[ Last edited byjf_pratama at 2-7-2007 02:50 AM ]

jf_pratama Publish time 1-7-2007 11:42 AM

Goyang Dangdut di Pasar Regional
Susi Ivvaty

Apa yang masih tersisa dari Kontes Dangdut TPI atau KDI 4? Gebyarnya tidak lagi semeriah KDI 1 dan 2 yang melahirkan Siti dan Gita. Untuk program yang telah berulang hingga empat kali, wajar jika penonton mulai jenuh. Apakah karena goyangan pinggul makin berkurang?

Salah satu indikator kesuksesan yang masih dipercaya pelaku industri layar kaca tentunya rating dan audience share. Berdasarkan survei lembaga riset AGB Nielsen, KDI 1 berhasil meraih rating rata-rata 10,2 dan share 35,5 persen atau ditonton oleh 35,5 persen pemirsa televisi. KDI 2 memperoleh rating 13,9 dan share 42,1 persen, sementara KDI 3 mendapat rating 8,9 dan share 28,7 persen. KDI 4 yang masih berlangsung ini, untuk sementara memperoleh rating 5,5 dan share 20 persen.

TPI memang berusaha memoles tayangan. KDI 4 mempunyai juri tetap Bertha yang mencermati perkembangan vokal dan penampilan semua finalis tiap pekan, sekaligus memberi komentar, saran, serta kritik. Ini berbeda dengan tiga KDI sebelumnya yang mendatangkan juri berganti-ganti.

Hal lain adalah masuknya peserta dari Malaysia serta Brunei Darussalam, yakni Marcel dan Suny. Uniknya, meski suara dan cengkok dangdutnya pas-pasan, Suny, finalis dari Brunei, ternyata terus melenggang ke delapan besar. Suny pun berbangga. "Saya mendapat dukungan SMS justru dari masyarakat Indonesia," kata anak kedua dari empat bersaudara yang pintar menari itu.

Keterlibatan Marcel dan Suny di KDI 4 tidak terlepas dari pamor sejumlah lulusan KDI yang kerap diundang ke dua negara tetangga itu. Gita, Andi, Kiki, Davi, dan Selfi memang kerap manggung di sana. Bahkan, Davi sudah menembus pasar Hongkong.

Manajer Humas TPI Theresia Ellasari menyebut angka Rp 20-an juta untuk tarif Davi sekali pentas. Musik dangdut, menurut Ella, sangat disukai masyarakat Malaysia dan Brunei karena khas dan tidak jauh berbeda dari musik Melayu yang juga butu* cengkok. "KDI kan menawarkan dangdut elegan, mungkin pas dengan kebutu*an dan selera mereka," katanya.

Bahkan, menurut Wakil Direktur Utama TPI Artine S Utomo, KDI berhasil mengangkat derajat dan kualitas hidup kontestannya. "Mereka yang semula kaum marjinal, kini hidup mapan, bahkan menjadi penopang ekonomi keluarga," tuturnya.

Simak cerita Frida (17), finalis dari Solo Jawa Tengah. Kata Frida, bapaknya "hanya" pengantar minuman kaleng sementara ibunya tidak bekerja. "Saya ingin sekali membahagiakan orangtua. Tidak harus juara, tetapi saya ingin menjadi penyanyi profesional, apalagi bisa pentas ke Malaysia," ujar si bungsu ini.

Bertha yang "galak"

Sebenarnya tontonan KDI 4 ini masih menarik, terutama karena ada Bertha yang "galak", selalu memberikan kritik tajam. Di salah satu episode, ia mengomentari penampilan Monica dengan sadis, "Kamu busuk. Pitch control, tempo, napas semua kedodoran," katanya.

Kepada Widhi, Bertha berkata, "Buruk sekali, seperti mengejar Metro Mini. Suara kamu bercerai-berai dengan musik Kang Purwacaraka". Lalu kepada Frida, "Hari ini jelek sekali. Kalau dangdut ya dangdut, jangan rock, jangan jadi bunglon". Cara menyanyi Isma disebut seperti juru tagih utang dengan ekspresi dingin. Lalu, cara mengambil napas Wulansari seperti menelan kain pel.

Komentar sepedas ini baru terjadi pada KDI 4, yang justru kadang-kadang memancing tawa penonton. Bertha, jika dicermati, memberi komentar dengan pas, meski terdengar sangat "sadis". Misalnya, saat mengomentari penampilan Rahman yang mendendangkan Sembako Cinta dari Thomas Djorghi. "Lagu ini ngasih tahu resep cinta, tetapi kamu menyanyi seperti merayu. Ingat, menyanyi itu akting lho," katanya." Wah....

Soal menyanyi dangdut pun ternyata butu* juri profesional. Dangdut yang dulu identik dengan goyang seronok kini makin terkikis. Koreografi makin variatif, tidak semata-mata goyang pinggul.

Namun, bagi sebagian orang, tontonan dangdut ini menjadi tidak menarik lagi. Seperti celetukan seorang penonton, "Dangdut kok terlalu dikomentari. Dangdut itu yang penting ya goyangannya...." Nah?

[ Last edited byjf_pratama at 2-7-2007 02:51 AM ]

jf_pratama Publish time 2-7-2007 02:53 AM

Band Bre: Alon-Alon asal Kelakon
Minggu, 01 Juli 2007

Dari Jogja, band Bre mencoba peruntungan nasib di belantika musik tanah air. Grup beranggota Taka (vokal), Alfan (bas), Toni (drum), Fendee dan Tama (gitar) itu merilis sebuah album baru bertajuk self titled.

"Bre berarti pria yang dapat diandalkan. Nama ini Indonesia banget. Kami mengambilnya dari gelar raja-raja Jawa. Bre Wirabhumi itu lho contohnya," kata Tama.

Band itu dibentuk pada Agustus 2002. Di kotanya mereka memang sangat dikenal. Tak ingin hanya menjadi jago kandang, mereka melebarkan sayap di bawah bendera label Warner Music. Tembang yang menjadi andalan mereka adalah Setengah Mati.

Meski sudah melepas album dan klip awal bulan lalu, mereka tak mau terlalu bernafsu mengejar popularitas. Mereka memilih melakukannya pelan, tapi pasti. "Kami alon-alon asal kelakon (pelan-pelan yang penting terlaksana) saja. Bagi kami, orang tahu sudah cukup," terang Taka diplomatis.

Target Bre pada album pertama itu hanya memperkenalkan 11 lagu yang terekam dalam album tersebut. Setelah launching Mei lalu, hingga kini mereka baru melakukan show case dua kali di Hip Hip Hura SCTV dan Pesta Indosiar. Selebihnya, mereka hanya melakukan tur ke media-media di seluruh Jawa.

Salah satu alasan mereka tidak mau berharap banyak pada album itu adalah saat ini band-band raksasa juga sedang promosi album baru mereka. "Kami juga nggak tahu kenapa Warner mengeluarkan album kami sekarang pada saat band-band mapan juga sedang mengeluarkan album baru. Bisa dibilang, sekarang kami lagi merayap. Tapi, kami tetap yakin musik kami bisa diterima. Kami malah khawatir, kalau cepat naik, bisa-bisa juga cepat turun," ungkap Alfan.

Musik yang mereka usung adalah pop ’n’ roll yang merupakan perpaduan musik pop dengan sound ala rock lawas seperti Bon Jovi atau Bad English. "Kami yakin kami punya karakter yang unik dan mampu bersaing," tegas Taka. (nar)

jf_pratama Publish time 2-7-2007 02:55 AM

Cokelat Rayakan Ultah Ke-11
Minggu, 01 Juli 2007,

JAKARTA - Di tengah maraknya kemunculan band-band pendatang baru, grup Cokelat mampu membuktikan eksistensi mereka. Jumat malam lalu bertempat di Mezza9, Pondok Indah Mall, Jakarta, grup beranggota Namara Surtikanti atau Kikan (vokal), Edwin Marshal (gitar), Ernest Fardiyan (gitar), Ervin (drum), dan Febriyanto Nugroho atau Ronny (bas) itu merayakan ulang tahun mereka yang ke-11.

Sebuah syukuran sederhana diadakan untuk menandai pertambahan usia band yang terbentuk pada 25 Juni 1996 dan sudah mengeluarkan tujuh album tersebut. Menurut Edwin, acara itu khusus dibuat Cokelat untuk para Bintang Cokelat (fans Cokelat, Red) dan wartawan.

Potongan kue pertama diberikan kepada salah seorang di antara puluhan Bintang Cokelat yang hadir. Potongan tumpeng pertama diberikan kepada perwakilan wartawan. "Terima kasih kepada Bintang Cokelat dan media karena kesuksesan kita sampai saat ini tidak lepas dari peran serta kalian," ujar Edwin.

Tahun lalu, Cokelat membuat sensasi pada hari ulang tahunnya. Ketika itu, mereka dijadikan replika berbahan cokelat yang besarnya berskala 1:1. Karya itu kemudian dicatat Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai replika cokelat raksasa. Pada 2004, Kikan dan kawan-kawan juga mendapatkan penghargaan dari Muri karena launching album sekaligus merayakan ulang tahun dengan cara mengamen di dalam pesawat terbang Star Air Flight. "Tahun ini, acaranya dadakan sekali. Idenya juga kurang dari seminggu. Tadinya pengin ngamen di pasar, tapi ada sesuatu yang nggak mungkin," terang Edwin.

Bagi mereka, bisa mencapai usia 11 tahun merupakan hal yang luar biasa. Tetapi, kata Ronny, itu belum bisa dijadikan tolok ukur kehebatan. "Ibarat manusia, umur 11 tahun itu baru mau kelas 5 SD. Begitu pun Cokelat. Kita belum apa-apa, masih harus berjalan terus," ungkap pria yang pada saat bersamaan dengan syukuran malam itu, ayahnya dirawat di rumah sakit karena stroke tersebut.

Kikan menambahkan, hubungan emosional di antara para punggawa Cokelat juga menjadi salah satu faktor penting eksistensi mereka. Menurut dia, para personel tidak hanya bertemu di atas panggung. "Kita juga suka saling bertemu di luar kepentingan musik. Dan 11 tahun ini, kita juga nggak selalu di atas," terangnya.

Agustus mendatang, Cokelat berencana mengadakan ngamen 17 Agustusan di Surabaya. Lokasinya belum dipastikan. "Kita memang punya program tahunan untuk acara-acara berbau nasional. Tahun ini kita ingin di Surabaya," ujar Edwin. (gen)

jf_pratama Publish time 2-7-2007 05:40 PM

Piano Concert Kanisius Kevin Suherman and The Orchestra
Matang dalam Kandang

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/02/Hiburan/02konser.gif

Kevin Suherman (piano) menjadi pianis termuda yang pernah memainkan pianonya dalam sebuah orkestra di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, baru-baru ini. Dia membawakan komposisi klasik karya Beethoven dan Chopin dengan diiringi orkestra yang dipimpin oleh Prof. Andre de Quadros, Ketua Bagian Musik di Boston University, Amerika Serikat.

Embusan angin terasa menusuk malam itu. Lepas kumandang adzan magrib di lembah Babakan Siliwangi, Bandung, kilauan lampu berwarna kuning mulai menyoroti tempat parkir Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Berpuluh-puluh mobil dan motor mencari tempatnya masing-masing. Suara-suara penumpang yang turun dari kendaraannya lirih terdengar di depan pintu gedung itu.

Mereka semua datang dengan satu tujuan yang sama. Untuk menyaksikan perjalanan Kanisius Kevin Suherman mengukirkan sejarahnya dalam perkembangan musik klasik di Indonesia. Pentas bertajuk Piano Concert Kanisius Kevin Suherman and The Orchestra. Saat itu untuk pertama kalinya seorang anak yang masih berusia 12 tahun menggelar konser piano solo dengan iringan orkestra.

Siswa kelas 1 SMP Bina Bakti program Martius ini membuka konsernya dengan membawakan komposisi Schumann, Variations on the Name Abegg" opus 1. Kevin yang tampil dengan mengenakan setelan tuksedo putih, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam ini memainkan jemarinya dengan tenang.

Kenangan Robert Schumann yang menyenangkan dan sekaligus menyedihkan tentang temannya, Meta Abegg ditampilkan dengan baik oleh Kevin. Sesekali tangan kanan Kevin menyilang di atas tangan kirinya, ketika ia memainkan komposisi yang diciptakan oleh Schumann antara tahun 1829 dan 1830 itu.

Usai komposisi tersebut, dia membawakan Premiere Ballade F. Chopin opus 23. Kevin mengawali karya komponis Polandia ini dengan tempo lambat, membuat pendengarnya merasakan nuansa kesepian. Kesan itu pula yang membuat sutradara Roman Polanski memasukkan komposisi ini dalam filmnya yang berjudul The Pianist.

Dalam film itu, seorang pianis bernama Szpilman memainkan karya pertama Frederic Chopin untuk piano solo. Szpilman yang dikejar-kejar tentara Jerman saat itu melarikan diri dan menemukan sebuah piano tua dalam rumah sakit yang sudah hancur akibat perang. Penderitaan yang dialaminya, dia ekspresikan lewat piano tersebut.

Komposisi ini sendiri dibangun dalam dua tema, yang mulanya merupakan pembukaan dalam tujuh bar, dan bagian kedua sebanyak 69 bar. Kedua bagian ini sendiri membutu*kan teknik yang tidak enteng.

Emosi pemainnya harus dapat dijaga karena ada beberapa tempo yang harus dimainkan beriringan dalam waktu dekat.

Karya pertama dari empat bagian untuk solo piano dari komposer Polandia, Frederic Chopin ini, dia bawakan sekitar sembilan menit. Karya klasik yang diciptakan antara tahun 1835-1836 ketika Chopin memasuki Paris ini memang tidak usang oleh waktu. Permainan Kevin membuktikan hal itu.

Tidak hanya karya-karya komposer dunia yang dia tampilkan. Lagu Es Lilin yang diaransemen olehnya pun dia bawakan sebagai penutup sesi pertama konsernya. Nada mendayu-dayu yang biasanya terdengar kala lagu daerah Jawa Barat ini dimainkan dengan alat musik tradisional juga terasa dalam dentingan piano Kevin.

Kevin akhirnya berdiri dan meninggalkan pianonya setelah kira-kira lima menit dia memainkan karya Mursih, yang sering diperdengarkan di hajatan pernikahan terutama orang Sunda. Selesailah bagian pertama dari konser tersebut.

Memasuki bagian kedua, pianis cilik itu tidak sendiri. Ada 44 anggota orkestra dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang sudah menantinya.

Masing-masing memegang instrumen berbeda seperti, biola, kontra bas, flute, obo, klarinet, dan bas drum. "Semoga ini bukan penampilan Kevin yang terakhir dengan orkestra," ungkap Prof Andre de Quadros, seorang komposer, dirigen, pendidik, spesialis musik klasik dari Boston University, Amerika, sekaligus konduktor malam itu.

Penampilan Kevin pun sedikit berbeda. Dia terlihat lebih dewasa dibandingkan anak-anak seusianya dengan jas hitam di badannya. Dia duduk di bagian tengah panggung dengan deretan pemain orkestra yang mengelilinginya dalam bentuk setengah lingkaran.

Kesan suram dan kelam mewarnai konser di bagian kedua yang dibuka oleh komposisi Chopin Piano Concerto no 1 in E minor, opus 11. Kevin harus menanti sekitar dua menit sebelum akhirnya dia bisa menunjukkan ekspresinya di atas tuts piano.

Kondisi ini mengingatkan kita tentang komposisi yang dibuat oleh Chopin pada 1830. Karya tersebut dibawakannya pertama kali pada 11 Oktober 1830 di Warsawa, sebagai tanda perpisahan sebelum dia meninggalkan Polandia.

Ekspresi sekaligus gairah Chopin yang mengucapkan perpisahan cukup terwakilkan oleh perpindahan dan tekanan jemari Kevin. Penonton dibuai romansa Chopin tentang Polandia dengan segala daya tariknya.

Sedikitnya permainan piano dalam karya ini bisa kita artikan bahwa Chopin membuat latar orkestra dengan sangat hati-hati dan disengaja untuk memasukkan suara piano. Hal ini kontras dengan kerumitan harmoninya. Permainan Kevin sangat mumpuni untuk membawakan komposisi bertipe Allegro-Maestoso ( ceria dan cepat tapi elegan), Romance-Larghetto (pelan-pelan) dan Rondo-Vivace (biasanya agak cepat) ini. Tepukan tangan penonton pun membahana usai dia membawakan komposisi yang berdurasi sekitar 25 menit tersebut.

Pengakuan Andre akan penguasaan teknik dari Kevin yang sangat kuat dan stabil di usianya terbukti saat dia membawakan komposisi The Piano Concerto No. 3 in C minor, Opus. 37. Karya Ludwig van Beethoven tahun 1800 ini dibawakannya tanpa cacat.

Karya yang terbagi ke dalam tiga movement, Allegro con brio (ceria,cepat, dengan tenaga), Largo (pelan), dan Rondo: Molto allegro (sangat cepat) itu, dia bawakan dengan tenang.

Sesekali, suara pianonya bergantian terdengar dengan iringan orkestra atau bisa disebut Abacada. Bagian refrain diselingi dengan beberapa tema yang kontras.

Di bagian pertama (allegro), kira-kira dua setengah menit awal hanya ada pengenalan orkestra tanpa ada piano. Suara piano masuk dengan skala C minor yang kuat. Coda (akhir)-nya dramatis, yang berawal dari getaran yang sangat pelan yang terus menghasilkan klimaks yang megah tapi juga gelap.

Masuk bagian kedua (largo) dengan E mayor, Kevin membukanya dengan melodi yang sangat terpuji untuk piano solo. Pada bagian akhirnya, dimulai dengan C minor dan disudahi dengan tempo cepat di C mayor.

Beethoven memainkan komposisi ini 5 april 1803 hanya berlandaskan ingatannya. Demikian juga Kevin. Malam itu, seluruh permainannya dilakukan tanpa bantuan partitur (not balok). "Dia punya dorongan dan gairah dalam dirinya," ujar Andre mengomentari penampilan Kevin.

Hal senada disampaikan Pully (32) yang rela membayar Rp 100 ribu untuk tiket konser itu. "Luar biasa untuk anak seusianya. Saya baru melihat dia sekarang. Saya kagum," paparnya.

Sayangnya, lingkungan di Indonesia kurang mendukung untuk perkembangan musikalitas Kevin. Nino Aryo Wijaya (21), pemain klarinet yang mengiringi Kevin mengatakan kemampuan tersebut harus diasah di luar negeri. Karena, sambung dia, di Indonesia kekurangan pengajar untuk musik klasik.

[ Last edited byjf_pratama at 2-7-2007 05:45 PM ]

jf_pratama Publish time 3-7-2007 07:22 PM

Pentas: "Perang" Puisi ala Hip Hop, Sebuah Penciptaan Identitas

"Pring padha pring
Eling padha eling
Eling dhirine
Eling pepadhane
Eling patine
Eling Gustine
Pring iku mung suket
Ning gunane akeh banget
Yaiku jenenge ngelmu pring!"

Beberaparemaja asyik berdiri sambil bergoyang ala hip hop ke depan dan kesamping. Tak lupa mengangkat-angkat tangan lalu ikut nimbrungbernyanyi, "... pring! Dadia kaya... pring!"

Barangkaliada yang baru pertama kali mendengar puisi Sindhunata itu. Puisi dalambahasa Jawa itu berisi filosofi bambu atau pring, yaitu kehidupan yangbanyak bermanfaat bagi kehidupan lain.

Malamitu puisi tidak dirayakan dengan pertunjukan yang serius atau khidmatseperti laiknya pembacaan puisi. Namun, dengan musik hip hop! Puisitampil diiringi entakkan musik ramuan para DJ berpenampilan trendi.Mengalir dalam suara anak-anak muda berkemeja, bercelana gombrong,sepatu olahraga dan tas ransel sebagai kostum panggung. Rima puisiterkadang luruh dan tunduk kepada birama musik.

Ketikapara pelantun irama hip hop dari Yogyakarta tampil, beberapa lagu danpuisi dibawakan dalam bahasa Jawa. Salah satu peserta, Kill The DJ,menyempatkan memakai udeng atau ikat kepala di atas panggung.

"Ayo,semua bergoyang... ini bukan musik untuk berpikir...," teriak salahsatu pelukis grafiti dari atas panggung memanas-manasi para pengunjung"A Hip Hop Poetry Battle" di Teater Halaman Taman Ismail Marzuki,Jakarta, Jumat (29/6) malam. Beberapa orang yang tengah mengerjakangrafiti menjadi latar belakang panggung.

Setidaknyasepuluh puisi dibawakan para pelantun hip hop, seperti Rotra, Kontra,Gatholoco, Jahanam, MC Sabda, Nova Twin Sista, Rob-A-Gob, dan U-Go,malam itu. Beberapa puisi itu, misalnya, adalah Untuk Melika Hamaudy(Zam-Zam Noor), Cinta dalam Retrospektif Alkohol Akhir Tahun (SautSitumorang), Cintamu Sepahit Topi Miring (Sindhunata), Sinom 231 danLingsir Wengi (dari Serat Centhini Sinom 231) 1.000 Tahun di Kalabendu(dari Serat Jayabaya), Malam dan Hampa (Chairil Anwar), serta Abad yangBerlari (Afrizal Malna).

Puisibukan lagi benda aneh, berjarak, ketinggalan zaman, atau menimbulkankerut di kening mereka yang bukan penggemarnya. Penonton tiba-tiba bisabergoyang, asyik mengangguk-anggukkan kepala, dan mengangkat-angkattangan sambil berseru dengan puisi. Sejauh mana arti syair yangdiserukan ala rapping梑erkata-kata dengan cepat梚tu bisa ditangkap,apalagi mencapai makna, ya, tergantung....

Pembela

Pertemuanantara puisi dan ekspresi lain, seperti hip hop, adalah salah satuupaya mengemas puisi agar menjadi lebih renyah dikonsumsi, terutamaoleh kaum muda. Ini, antara lain, menjadi salah satu keinginan daripenyelenggara, Jogya Hip Hop Foundation. Hip hop dijadikan kendaraanbagi puisi-puisi, mulai dari yang sudah uzur seperti Serat Centhini danSerat Jayabaya hingga ke puisi kontemporer.

KillThe DJ alias Marzuki, salah satu pendiri Jogya Hip Hop Foundation,beranggapan, hip hop dan puisi di satu titik dapat bertemu, yakniketika berbicara tentang teks. Teks yang menggerakkan budaya hip hop.

"Seorangartis grafiti dalam hip hop disebut penulis atau writers lantaran adapesan-pesan yang diungkapkan lewat kata-kata. Itu sebelum hip hopmenjadi lebih pop," katanya. Ada juga MC (emceeing) dan berkata-katayang disinkronkan dengan entakkan musik (rapping).

"Inibukan soal cara yang baik atau tidak, tetapi gaya yang kami suka dandekat dengan kami. Teks punya bahasa dan hidupnya sendiri ketika diadilepas oleh penulisnya," ujarnya.

U-Goalias Ugoran Prasad yang membawakan puisi Afrizal Malna dengan penuhpenghayatan di atas panggung punya pendapat sendiri. "Orang menulisteks, termasuk dalam hip hop, pasti dengan orientasi tertentu. "A HipHop Poetry Battle" merupakan bentuk penafsiran tersendiri dari karyayang dapat dibaca dengan banyak cara," ujar pemuda kurus berpakaianhitam-hitam itu.

U-Go,selain dikenal sebagai vokalis Melancholic Bitch, vokalis punk denganrapping khas hip hop, juga seorang penulis. Karyanya, Ripin, terpilihsebagai cerpen terbaik dalam Penganugerahan Penghargaan Cerpen KompasPilihan 2005-2006.

Hiphop dalam sejarahnya merupakan subkultur komunitas kulit hitam Amerikayang tak lepas dari refleksi kondisi politik, sosial, dan ekonomi padamasa itu. Hip hop muncul tahun 1970-an dan hadir sebagai bagian dariperlawanan ketika banyak stasiun radio warga kulit hitam memutar musikdisko.

Adajuga yang mengatakan teknik yang dipakai dalam musik aliran itusebetulnya telah dikenal di Jamaika dan menyebar melalui komunitasimigran asal Jamaika di New York. Old School Hip Hop merupakan aliranhip hop pertama yang lahir dari pesta di blok-blok Kota New York danberbaur dengan budaya populer. Melalui berbagai elemennya, seperti discjockey (DJ), master of ceremony (MC atau berkata-kata dengan cepat),grafiti, serta breakdance, aliran itu jadi salah satu ekspresi generasimuda untuk didengar dan diakui eksistensinya.

U-Goberanggapan hip hop dan puisi sebagai sang pembela. "Waktu sayamendengarkan hip hop saya merasa dibela. Itu terkait dengan apa yangmereka katakan dan cara mengatakannya. Perasaan saya sama seperti waktumembaca puisi Afrizal Malna. Ada semangat resistansi dalam teks-teksyang dibawakan dalam hip hop dan keinginan menciptakan identitassendiri," ujarnya.

Apa yang dia maksud rasanya sama seperti seorang penulis puisi yang menggoreskan identitas lewat karyanya. (INE)

[ Last edited byjf_pratama at 3-7-2007 07:25 PM ]

jf_pratama Publish time 3-7-2007 07:37 PM

CINDY BERNADETTE- Penyanyi Pembuka
Selasa, 03/07/2007

Penyanyi Cindy Bernadette akhir-akhir ini sedang konsentrasi mempromosikan diri dan album terbarunya. Karena itu, mojang Bandung ini mengaku senang jika tampil sebagai penyanyi pembuka di setiap konser grup band besar.

JAKARTA(SINDO) 朒al itu rela dilakukan agar karya musiknya dikenal orang banyak, terutama untuk memperkenalkan album keduanya bertajuk 拻Cindy Bernadette, Wish No 1拻 yang baru rilis belum lama ini.

拻Bagi saya, menjadi penyanyi pembuka bukanlah sesuatu yang harus dipandang negatif. Justru, di situlah kesempatan untuk promosi. Saya enggak mau pilih-pilih tempat. Asal bisa kenalkan album, saya akan ambil kesempatan itu ,

jf_pratama Publish time 3-7-2007 07:42 PM

PASTO Garap Album Perdana Setelah 4 Tahun
Selasa, 03/07/2007

Grup vokal pendatang baru, Pasto, tengah menyiapkan album perdananya yang bertajuk 拻I Need You拻. Setelah empat tahun berada di bawah naungan Glenn Fredly, Pasto baru diberi kesempatan membuat album baru.

JAKARTA (SINDO) 朒al itu dilakukan agar Pasto lebih matang dan mampu bertanggung jawab dengan hasil karya yang dibuat. Empat tahun sebelumnya,grup vokal yang terdiri atas Bayu, Rudolph, Melto, dan Ryan ini lebih banyak manggung. Glenn menyatakan, cara itu dia lakukan supaya Pasto benar-benar siap dan bagus secara musikalitas.

拻Jangan sampai begitu Pasto mengeluarkan album,mereka tidak bisa bertanggung jawab secara musikalitas. Jadi,saat tampil di depan penonton,mereka harus bernyanyi profesional bahkan lebih baik daripada albumnya,攗jar Glenn.

Sebagian besar lagu pada album ini disumbangkan oleh Glenn, komunitas musik D Gely, dan Manis Sedap.Sementara itu,Pasto sendiri menciptakan dua lagu,yakni WBD (Wanita Berhati Dua)dan Rasa Ini. Untuk singel pertamanya yang berjudul I Need Youdiciptakan oleh Yoyo dan Bowo 拻SoulMate

jf_pratama Publish time 3-7-2007 07:45 PM

THE SIGIT Promo di Australia
Selasa, 03/07/2007

Kelompok musik rock asal Bandung,The Super Insurgent Group of Intemperance Talent alias The SIGIT baru saja pulang dari promo tour di Australia.

JAKARTA (SINDO) - Selama kurang lebih tiga pekan, mereka berkunjung ke sembilan kota di Negeri Kanguru tersebut, yaitu Hobart, Sydney, Perth, Brisbane, Launceston, Dunsborough, Bunbury,Melbourne,dan Adelaide,untuk memperkenalkan album Visible Idea of Perfectionyang juga dirilis Australia.

Debut album fenomenal mereka itudirilisolehFFWDRecordsuntuk pasaran lokal di Tanah Air.Sementara itu,dalam penggarapan albumnya, FFWD Records bekerja sama dengan label di Australia,Caveman Records.

拻Kebetulan, EP (album mini) kami dirilis di sana oleh label Caveman Records. Setelah melihat angka penjualan yang menggembirakan, akhirnya album Visible Idea of Perfection dirilis di sana pada Juni. Lalu, mereka menawarkan bagaimana jika kami juga melakukan promo tour di sana.Ya sudahlah, pasti mau jawabannya,

jf_pratama Publish time 5-7-2007 04:40 PM

SHE Band Cewek pun Bisa Eksis
Kamis, 05/07/2007

Kehadiran band perempuan bernama Sound and Harmony Eclectic alias SHE akan menjadi warna baru di belantika musik Tanah Air. SHE telah meluncurkan album keduanya, Tersenyum Lagi,di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin.

JAKARTA (SINDO) 桾ujuh personel kelompok musik asal Bandung ini ingin membuktikan kalau band perempuan pun bisa eksis di ranah musik Indonesia. SHE merupakan kumpulan dari tujuh perempuan dengan latar belakangmusikyangberbeda-beda. Namun, mereka mempunyai keinginan untuk mengemas perbedaan tersebut dalam sebuah harmonisasi yang indah.

Mereka pun optimistis bisa bersaing dengan band-band pria lainnya. 拻Siapa bilang grup band cewek tidak bisa bertahan. Buktinya, SHE yang terbentuk pada 2000 sudah berjalan selama tujuh tahun,

jf_pratama Publish time 5-7-2007 04:42 PM

SHE Band Cewek pun Bisa Eksis
Kamis, 05/07/2007

Kehadiran band perempuan bernama Sound and Harmony Eclectic alias SHE akan menjadi warna baru di belantika musik Tanah Air. SHE telah meluncurkan album keduanya, Tersenyum Lagi,di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin.

JAKARTA (SINDO) —Tujuh personel kelompok musik asal Bandung ini ingin membuktikan kalau band perempuan pun bisa eksis di ranah musik Indonesia. SHE merupakan kumpulan dari tujuh perempuan dengan latar belakangmusikyangberbeda-beda. Namun, mereka mempunyai keinginan untuk mengemas perbedaan tersebut dalam sebuah harmonisasi yang indah.

Mereka pun optimistis bisa bersaing dengan band-band pria lainnya. ’’Siapa bilang grup band cewek tidak bisa bertahan. Buktinya, SHE yang terbentuk pada 2000 sudah berjalan selama tujuh tahun,” jelas salah seorang personel SHE, Melly.

Sebelumnya, grup band yang terdiri atas Achi (violin), Adisty (drum), Arnie (bas), Melly (lead vocal), Riry (gitar akustik), Qoqo (gitar elektrik),dan Yayo (keyboard) ini telah meluncurkan album pertamanya yang berjudul Tentang Aku,Kamu,dan Diapada 2005 lalu. Sementara itu, pada album teranyarnya, SHE memasukkan nada-nada yang lebih berani, lirik yang lebih nakal,dan tema-tema menantang.

Pada album yang dirilis Sony BMG Music Entertainment Indonesia ini, SHE benar-benar all out dalam mengemas albumnya,misalnya lagu Slow Down Babyyang berisi nasihat untuk tidak terburu-buru dalam menjalin cinta. Lagu itu dikemas dengan gaya yang lucu dan tidakmembosankan.

SHE menunjukkan keberanian mereka dengan mengaransemen sendiri lagu tersebut. Hingga akhirnya, mereka memutuskan lagu Slow Down Baby sebagai singel pertama album ini. Sementara itu, pada lagu Selingkuh Sekali Saja mereka agak sedikit ’’nakal’’ pada liriknya. ’’Di sini, ada seorang kekasih yang meminta izin kepada pasangannya untuk selingkuh sekali saja demi rasa penasarannya,” jelas Melly.

Sebaliknya,pada lagu Mana Tahan, mereka ingin menceritakan betapa malunya menjadi korban perselingkuhan. Lagu itu dikemas dengan ceria dan kental dengan irama 1980- an. ’’Kami tetap mengusung aliran musik pop,tapi ada nuansa rock juga pada album ini.Hal itu begitu terasa dengan sound distortion dan permainan gitar yang dominan,”tutur sang gitaris, Qoqo.

Pada lagu Tercipta Untukmu, SHE berkolaborasi dengan Rio Febrian yang ikut melantunkan suara khasnya. Arina ’’Mocca” yang pernah menjadi vokalis SHE juga berpartisipasi dalam album ini dengan memberikan sebuah lagunya, yaitu Jatuh.(andree)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:29 PM ]

jf_pratama Publish time 7-7-2007 12:15 AM

Festival Musik Internasional Digelar di Riau

Pekanbaru (ANTARA News) - Malay Music Institute bersama Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau akan menggelar festival musik internasional yang mengolaborasikan antara musik tradisional dan modern bertajuk "Riau Hitam Putih Internasional 2007", 27-28 Juli 2007.

Direktur Malay Music Institute, Pulsiamitra di Pekanbaru, Jumat mengatakan acara tersebut bertujuan untuk mendekatkan perpaduan kedua jenis musik tersebut kepada generasi muda.

"Acara ini juga ditujukan bagi pelestarian dan pengembangan musik Melayu di antaranya maraknya musik modern yang kian tak terbendung, dengan menampilkan musik tradisional tersebut dalam festival musik berskala internasional," katanya.

Festival akbar tersebut akan menghadirkan grup musik dari dalam dan luar negeri, di antaranya Field Players & Red White Bottom dari Kuala Lumpur, Komunitas Maestro dari Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Dewan Kesenian Lampung dari Lampung, Gilang Ramadhan dengan grup musik Nera dari Jakarta, De Lima Malay youth dari Singapura, Trio Dingo dari Australia, Group Musik dari Venezuela, Dubai, India, Filipina, Thailand, serta dari kabupaten/kota se-Provinsi Riau.

Kepala Dinas Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata Provinsi Riau, Jhoni Irwan mengatakan pihak pemerintah provinsi sangat mendukung acara tersebut karena dinilai akan membawa dampak positif bagi promosi wilayah Riau di mata nasional dan internasional.

Selain itu, acara tersebut menurut dia akan membawa dampak positif bagi sosialisasi musik tradisional khususnya Melayu kepada generasi muda.

Sementara itu, pengamat musik Ben Pasaribu menyatakan Provinsi Riau dengan posisi geografis yang strategis yakni terletak di pusat Pulau Sumatera dan berbatasan dengan negeri tetangga, sangat menguntungkan untuk mengangkat budaya tradisional untuk dipadukan dengan modernisasi.(*)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:28 PM ]

jf_pratama Publish time 7-7-2007 05:30 PM

Beda Generasi di Konser JISMF

Menyaksikan konser Jakarta International Summer Music Festival (JISMF) 2007 yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Jumat (6/7) malam, penonton disuguhi kemampuan bermusik para peserta summer camp yang berusia lima tahun ke atas.

Bagian pertama konser menampilkan para musisi muda baik solo, duet dan trio. Mereka tidak hanya bermain musik tetapi juga bernyanyi solo dan paduan suara.Walau masih begitu muda, anak-anak yang berasal dari berbagai daerah ini tampil dengan percaya diri.

Kemampuan bermusik mereka tidak kalah dengan musisi yang usianya di atas mereka, sekalipun di awal pertunjukan anak-anak itu membawakan komposisi pendek.

Komposisi yang dibawakan peserta adalah sejumlah karya dari beberapa komposer seperti F Chopin, K Bohm, D Alexander, Shostakovich, Pete Seegar, C Norton, C Debussy, JS Bach, A Vivaldi.

Pada sesi pertama bukan hanya murid-murid yang tampil. Saat paduan suara yang tak lain adalah para summer camp itu sendiri, musisi dari New York Amerika Serikat (AS) Lisa Laskowich menjadi musisi yang mengiringi paduan suara membawakan sejumlah lagu.

Ia memainkan piano. Ia menebarkan kenikmatan suara lewat pianonya.

Lisa merupakan doktor di bidang musik dan menjabat sebagai Direktur Musik pada Music Theater Workshop. Ia juga memimpin paduan suara anak-anak di Studio School, Upper West Side Manhattan New York.

Sesi pertama konser tidak hanya menampilkan kepiawaian para siswa bermusik, pembimbing atau guru juga unjuk kebolehan bermusik. Pendiri Sekolah Musik Jakarta (SMJ) Dr Kuei Pin Yeo bermain piano membawakan Spring Sonata karya Beethoven.

Komunitas Musik

Menurut Yeo, peserta JISMF 2007 ada sebanyak 120 orang dengan peserta termuda berusia lima tahun. Untuk dapat bergabung dalam kegiatan yang berlangsung selama libur sekolah, tepatnya 24 Juni sampai 8 Juli, pihaknya melakukan audisi di kota Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan Korea.

Para peserta, ujarnya, memiliki kemampuan bermusik, sehingga dengan bergabung dalam summer camp yang diadakan di SMJ berlokasi di Bumi Serpong Damai Tangerang, kemampuan bermusik para peserta semakin terasah.

Mereka yang mengajar dalam summer camp ini dari Indonesia dan New York. Dari Indonesia adalah Kuei Pin Yeo, Jap Tji Kien. Sedangkan yang dari New York adalah Jessica Bruser yang merupakan doktor di bidang musik, Anna Kijanowska yang juga doktor dan master di bidang musik, Ayano Ninomiya yang merupakan master di bidang musik dan seorang violis, Aaron Wunsch yang sedang menyelesaikan pendidikan doktor di bidang musik dan Lisa Laskowich yang piawai bermain piano dan juga pelatih vokal.

Peserta summer camp dikenakan biaya yang jumlahnya tergantung kemampuan orangtua. Ada anak yang membayar penuh tetapi ada juga yang tidak membayar. Tujuan dari kegiatan ini agar anak-anak mempunyai komunitas musik. Mereka bisa berbagi kemampuan bermusik sejak pagi hari," ujar Yeo yang pernah menjadi pengajar summer camp di AS.

Pengalaman di AS itulah yang membuat Yeo menciptakan summer camp di Indonesia. Kegiatan dalam program ini antara lain master-class, workshop, private lesson, musik kamar, seminar pedagogik, paduan suara, konser siswa dan pengajar.

Jika pada sesi pertama konser JISMF yang tampil adalah para siswa, maka dalam sesi kedua yang tampil adalah para pengajar. Seorang peserta summer camp dari Surabaya Gillian Geraldine Gani menuturkan, ia lebih mudah memahami apa yang diajarkan para guru dari AS.

"Guru dari AS lebih teliti. Kalau ditanya mereka langsung menjawab. Kalau guru musik di Surabaya mau juga menjawab pertanyaan tetapi jawabannya tidak lengkap," ujar anak berusia 10 tahun yang menguasai piano dan biola itu.

[ Last edited byjf_pratama at 7-7-2007 05:32 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 01:34 PM

Album燨ST Bukan Bintang Biasa:Suara Rumahan

Album Original Soundtrack Film Bukan Bintang Biasa
Komposisi/Musik: Melly Goeslaw/Anto Hoed
Produksi: PT Aquarius Musikindo, 2007

Album Original Soundtrack Film Bukan Bintang Biasa (BBB) ini mengingatkan ketika Rano Karno bernyanyi dalam film Dimana Kau Ibu atau juga Romi dan Yuli pada awal 1970-an. Rano saat itu bernyanyi dengan suara rumahan—bukan penyanyi profesional. Rano pernah menyebutnya sebagai suara orang baru bangun tidur.

Suara penyanyi dalam album BBB ini juga berkapasitas suara rumahan. Artinya, suara untuk konsumsi dengaran di rumah. Coba simak suara Chelsea Olivia dalam lagu Kucinta Dia Apa Adanya yang dibawakan dengan suara apa adanya sekali. Atau juga suara Laudya Cynthia Bella dalam Karena Cinta. Juga Bukan Cinta Biasa yang dibawakan duet Dimas Beck dan Chelsea. Urusan ketepatan bidik nada alias pitch control bisa dikatakan payah.

Akan tetapi, mungkin bisa di-"ampuni" karena mereka memang bukan penyanyi profesional. Lagu mereka merupakan bagian dari sebuah film. Artinya, ia bisa dinikmati dalam konteks ekspresi seorang pemeran. Nyanyian mereka lebih enak ditempatkan sebagai bagian dari tontonan.

Yang sangat menolong pada album ini adalah kemampuan komposisi Melly Goeslaw untuk membuat lagu bermelodi manis. Juga keterampilan Anto Hoed untuk menata musik sesuai dengan karakter lagu. (XAR)

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 01:36 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 07:25 PM

Java Blues

Artist: Adrian Adioetomo
Album : Delta Indonesia
Label : Myseeds Records
Rating : *** out of *****
Standout Tracks : Telegram, Blues Iblis (Devil's Blues)

It seems that the same devil that tricked blues guitar legend Robert Johnson into trading his soul for guitar-playing prowess has recently landed in West Java and possessed a young man named Adrian Adioetomo.

So powerful was the spell that this young man believes that delta blues, a sub-genre born in the Mississippi delta in the late 1920s, made inroads to the country at about the same period.

"What if by some freak accident, the rural blues of the 1930s Mississippi delta found its way to pre-Independence Indonesia?" Adrian toyingly asks in the liner notes of his debut album Delta Indonesia.

Delta is the answer to that question. His guitar-playing skill is may just be a matter of technique and a pact with the devil; otherwise, years of practicing could produce just that.

Skill aside, the album's biggest attraction is Adrian's meticulous efforts to produce the authentic sound of delta blues as it was heard in the 1930s.

All songs in this album were treated to replicate the sounds of dust and scratches of 1930s 78 rpm vinyl records (even the physical CD is engraved to replicate the surface of vinyl records).

The songs, predictably, are standard blues tunes that no one from the blues community would have any problem adjusting to; the same songs that made members of Led Zeppelin, The Rolling Stones and Cream form bands in the first place.

Telegram sounds like Howlin' Wolf's Killing Floor before it was covered by Jimmy Page for Led Zeppelin II.

Theme-wise, Adrian talks a lot about what original delta blues performer rants, oppression, longing for unknown roots, front-porch musings and -- well -- pacts with the devil.

In Blues Iblis (Devil's Blues), Adrian sings about trading his soul with the same devil that took his woman, a paean to Johnson in Bahasa Indonesia that sounds like a translation from the English.

Delta is more a mission statement than a work of art. In plain language it is the sound of young man's fixation toward Robert Johnson, early-era vinyl and blues poetry -- nothing more.

-- M. Taufiqurrahman

[ Last edited byjf_pratama at 8-7-2007 07:27 PM ]

jf_pratama Publish time 8-7-2007 09:44 PM

Group Dua Baru: T2

jf_pratama Publish time 9-7-2007 07:16 PM

SOUNDRENALINE 2007 Puluhan Musisi Usung Perubahan Bermusik
Senin, 09/07/2007

Pagelaran musik tahunan Soundrenaline 2007 akan kembali diadakan di lima kota besar di Indonesia mulai 15 Juli hingga 12 Agustus mendatang. Sekitar puluhan musisi akan usung tema perubahan dalam konser bertajuk ’’Sounds of Change’’ ini.

JAKARTA (SINDO) –Pada pertunjukan tahunan yang sudah digelar enam kali ini akan mengusung berbagai perubahan, baik dari sisi lokasi konser, teknik konser, peralatan pendukung, panggung, soundsystem, keamanan, maupun acaranya.

Selain itu, para musisinya dituntut memberikan perubahan, baik sisi musikalitas, cara bernyanyi, materi musik, ataupun personelnya. ’’Beberapa tahun belakangan ini,banyak perubahan yang terjadi, terutama di musik. Kami percaya musik yang bersifat universal me miliki kekuatan untuk membawa semangat perubahan positif ini. Diharapkan, itu mampu menjadi channel yang memproyeksikan perilaku untuk perubahan,”tutur Brand Manager A Mild Amelia Nasution,pada jumpa pers di Upper Room Annex Building, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat,beberapa waktu lalu.

Sementara itu,sejumlah musisi menyatakan akan menampilkan sesuatu yang beda pada konser ini. Sebut saja kelompok musik Ratu yang akan menghadirkan personel baru. Selain Maia, Ratu akan menampilkan vokalis yang menggantikan Mulan Kwok. ’’Kami memang selalu berubah-ubah karena vokalisnya ganti terus,”jelas Maia.

Selain itu, pentolan grup band lawas God Bless,Ahmad Albar, pun menjanjikan perubahan pada penampilannya. ’’Aransemen dan repertoarnya akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, lihat saja nanti,” ujar pria yang bisa disapa Mas Iye ini.

Begitu pula dengan grup band Ungu yang dimotori Pasha.’’Kami belum tahu perubahan apa yang akan kami lakukan, tetapi dari dulu kami ingin sekali manggung pakai gamis.Tapi, enggak tahu di sini cocok atau tidak,”jelas Pasha.

Sementaraitu, Armand dan GIGI menjanjikan perubahan skenario dan lirik lagu mereka yang lebih nakal. Hal senada juga diucapkan Pinkan Mambo yang belum tahu akan tampil seperti apa.

’’Saya akan fokus di situ, lumayan kan kalau jadi juara ha...ha...ha,”canda Pinkan. Rencananya,konser ini disebar di lima kota, yakni Padang (15 Juli), Palembang (22 Juli), Bandung (29 Juli),Surabaya (5 Agustus),dan Denpasar (12 Agustus).

[ Last edited byjf_pratama at 9-7-2007 06:18 PM ]

jf_pratama Publish time 12-7-2007 06:07 PM

ANDITY Perkaya Pustaka Musik Yovie
Kamis, 12/07/2007

http://www.indonesiaselebriti.com/office/images/musik/coverlogo/albumandity-200.jpg牋http://www.tembang.com/images/berita/art_20077121739362038926106.jpg


Musisi Yovie Widianto kembali mengorbitkan penyanyi pendatang baru, Andity. Sebelumnya,Yovie pernah memperkenalkan grup band Yovie and The Nuno dan Marvell.Yovie menyatakan, kehadiran Andity itu akan menjadi pelengkap perpustakaan musiknya.

JAKARTA (SINDO) —Di tengah-tengah gempuran penyanyi dan band-band baru, Yovie tetap optimistis dengan kemampuan Andity.Sebab,menurut dia, karakter dan warna vokal perempuan yang pernah bergabung dengan Elfa`s Jazz and Pop Choir tersebut akan memberikan nuansa baru bagi industri musik Indonesia.

’’Saya ingin terus memproduksi penyanyi bertalenta bagus demi perkembangan dan kemajuan musik di Indonesia. Andity punya modal untuk ke arah sana. Dia punya taste musik kekinian yang cukup tinggi,” ujar Yovie pada jumpa pers peluncuran album perdana Andity di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin.

Menurut pentolan Kahitna tersebut, Andity memiliki warna suara yang khas,di antara alto dan contra-alto.’’Suaranya radarada berat dan sangat dicari untuk musik jazz,”jelas Yovie. Bagi Yovie, suara Andity terdengar seperti perpaduan Basia, Alicia Keys, dan Norah Jones. Itulah yang membuatnya kepincut untuk menggarap album Andity yang bertajuk ’’Beda”.

Secara musikal, album ini boleh jadi cukup menjanjikan karena semua musisi yang terlibat di dalamnya punya prestasi yang luar biasa, antara lain drummer jazz Gerry Herb,gitaris Kadek Rihardika, Oni Krisnerwinto (Sa`Unine String Ensemble). Mario sebagai penata vokal pun ikut terlibat di dalamnya.

Namun, Andity belum bisa mengimbangi roh album tersebut dengan kemampuan bernyanyi di atas panggung. Selain gayanya yang masih terlihat kaku, suaranya pun masih terkesan ngos-ngosan. ’’Itu memang gaya dan ciri dia bernyanyi. Penyanyi dengan suara rendah memang punya tipikal seperti itu,”kilah Yovie. (andree)

[ Last edited byjf_pratama at 16-7-2007 07:32 PM ]

jf_pratama Publish time 14-7-2007 06:39 PM

"Konser Pemanasan" yang Panas
SP/YC Kurniantoro

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/14/Hiburan/14konser.gif牋燵img]http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/14/Hiburan/14konse2.gif

Musisi Trie Utami dan Djaduk Ferianto tampil dalam konser yang bertajuk "Raised from the Roots, Breakthrough Borders" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (12/7). Konser bersama komunitas seni Kua Etnika ini merupakan penampilan persiapan Festival Nusantara di Brisbane, Australia, Agustus mendatang.

Sebelum menampilkan karyanya di Festival Nusantara, Brisbane, Australia, Agustus 2007 mendatang, pemusik Djaduk Ferianto bersama grupnya, Kua Etnika, menggelar "konser pemanasan". Pergelaran musik yang bertajuk Raised From The Roots, Breakthrough Borders dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), sejak Kamis (12/7) hingga Jumat (13/7).

Dalam konser yang menggunakan aneka macam instrumen etnik ini, Djaduk menyajikan sepuluh repertoar dengan dukungan vokalis Trie Utami. Di antaranya adalah Donau, Gendekan, Samukawise, Misi Nggak Mungkin (Mission Imposible), Duo, Minggu Tak Tenang, Kupu Tarung, Siklus, Mademenan, dan Juzla Juzli.

Karakter khas Djaduk dalam bermusik adalah dimulai dari semangat mengolah seni tradisi asli Indonesia dan modern. Karya-karya komposisinya merupakan pertemuan antara berbagai unsur, baik aliran, gaya, dan genre.

Dalam kelompok musik Kua Etnika, Djaduk mengolah dan mengambil inspirasi dari berbagai khasanah tradisi, sambil mencoba mempertemukannya dengan berbagai bentuk cara ungkap kontemporer.

Menurut Djaduk, yang mendasari kerja kreatif kelompok musik itu adalah keterbukaan musik etnik di Indonesia terhadap berbagai kemungkinan baru, baik instrumen, melodi, maupun iramanya.

Termasuk di dalamnya upaya mendialogkan khazanah musik etnik dengan khazanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari khazanah musik Nusantara.

Seperti dalam Donau, komposisi yang digagas oleh salah satu anggota Kua Etnika, Purwanto. Komposisi itu menceritakan tentang sebuah sungai di Eropa. "Ini kita dapat waktu kita "ngamen" di Eropa, kita kan kalo "ngamen" sampai sana," seloroh Djaduk mengawali repertoar pertamanya.

Nuansa perpaduan lebih muncul dalam Gendakan. Gendakan menceritakan tentang sebuah komunitas Tionghoa di Yogyakarta yang lambat laun mulai dilupakan. Musik hasil komposisi Indra Gunawan ini menampilkan nuansa percampuran Tionghoa dan Jawa. Dengan kemampuan vokalnya, Trie Utami, mengeluarkan aksen ala Tionghoa-Jawa saat melantunkan syair-syairnya.

Perpaduan antara ciri etnik dengan musik kontemporer terlihat lagi dalam peresembahan Misi Tidak Mungkin. Misi Tidak Mungkin adalah terjemahan bebas dari soundtrack Mission Imposible. Dalam persembahan ini Djaduk menyisipkan suara dari tembakan mainan anak-anak yang berbunyi trek tek tek. Selain itu Djaduk pun mengemas suara dari benang yang diikat dengan gelas plastik, seperti telepon benang yang sering diaminkan anak-anak. Suara ini bersahut sahutan dengan keyborad.

Tidak hanya khazanah musik Indonesia yang menjadi inspirasi Djaduk, sering kali komposisinya lahir dari kondisi sosial masyarakat Indonesia. Misi Tidak Mungkin oleh Djaduk dikaitkan dengan peristiwa penembakan aparat terhadap rakyat yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur beberapa pekan lalu.

Hal yang sama juga terlihat

dalam Samukawise dan Juzla Juzli. Samukawise hasil komposisi Suwarjiya diinterpretasikan untuk menceritakan kondisi bangsa yang masih dalam kegelapan. "Untuk itu kita harus banyak berdoa dan meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk menghilangkan kegelapan ini," ujar Djaduk. Sementara dalam Djuzla Djuzli, Djaduk mengkaitkan dengan sikap pemerintah dalam menangani korban lumpur di Sidoarjo, yang dinilai mencla-mencle. "Mereka perlu dihibur," ujarnya.

Sebagai pemusik yang sudah berkiprah sejak dekade '70an, Djaduk pun terus memperlihatkan hasil-hasil pendalamannya terhadap bunyi-bunyi yang khas dari nusantara.

Dalam persembahan Duo, yang hanya menampilkan suara dari sebuah logam bulat seperti pesawat luar angkasa, dan vokal Trie Utami, terlihat bagaimana hasil pendalaman Djaduk selama ini. "Ini adalah improvisasi, seperti halnya pemerintah yang sering melakukan improvisasi saat memikirkan rakyatnya," kelakarnya.

Dalam Raised From The Roots, Breakthrough Borders Djaduk banyak sekali mengeksplorasi bunyi-bunyi yang berasal dari tradisi Indonesia dan mempertemukannya dengan yang kontemporer. Hal ini memang seperti judul pertunjukkan itu yang ingin mengangkat apa yang ada di masyarakat Indonesia dan berkolaborasi bersama dengan musik yang lebih kontemporer.

Untuk sebuah "konser pemanasan" apa yang dilakukan Djaduk bersama Kua Etnika dan Trie Utami boleh terbilang sesuatu yang spektakuler. Djaduk, Kua Etnika dan Trie Utami berhasil menyihir penonton menjadi ringan tangan. Mereka tidak sungkan-sungkan bertepuk tangan dalam setiap akhir persembahannya. Tepuk tangan itu semakin gemuruh hingga persembahan terakhirnya.

jf_pratama Publish time 14-7-2007 06:45 PM

Indonesian Idol

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/14/Utama/14indone.gif牋牋牋牋http://www.suarapembaruan.com/News/2007/07/14/Hiburan/14indone.gif
Finalis Indonesian Idol, Gaby (tengah), bernyanyi untuk penampilan terakhirnya pada Spektakuler Indonesian Idol Show, di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (13/7) malam. Dengan tersingkirnya Gaby, tinggal dua finalis, Wilson (kiri), dan Rini (kanan), yang akan maju ke babak selanjutnya

Finalis "Indonesian Idol", Gaby, tereliminasi saat pertunjukan spektakuler di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (13/7).

Babak semifinal atau tiga besar Indonesian Idol yang digelar semalam, Jumat (13/7), berlangsung dramatis. Tiga kontestan yang berlaga, Rini, Wilson dan Gaby, dinilai dewan juri memiliki kekuatan yang tangguh. Masing-masing juga memiliki pendukung yang fanatik.

Tak heran, pengumuman siapa kontestan yang tersisih pun penuh dengan rasa deg-degan, cemas dan haru. Apalagi, Ata dan Daniel yang membawakan acara mampu membuat atmosfer tegang kian kental. Tatkala Gaby diumumkan sebagai kontestan yang harus pulang, desah napas lega dari pendukung Wilson dan Rini serta teriakan kecewa dari pendukung Gaby terdengar menggema di seluruh penjuru Balai Sarbini, Jakarta, tempat Indonesian Idol berlangsung.

Raut kecewa juga tampak di wajah dewan juri. Indra Lesmana, Titi DJ, Jamie Aditya dan Anang Hermansyah, semua sama-sama menyukai warna vokal Gaby yang dinilai khas dan komersial. Apalagi, dalam penampilannya semalam, ia mampu mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya lewat lagu Kaulah Segalanya dan My Heart Will Go On.

"Karakter suara kamu kuat, cara nyanyi kamu juga luar biasa," puji Titi DJ kala Gaby selesai membawakan Kaulah Segalanya milik Ruth Sahanaya, sebuah tantangan dari penyanyi favoritnya, Melly Goeslaw.

Sayang, segala puja-puji dewan juri gagal membawa Gaby ke babak grand final. Seluruh juri yang memimpikan adanya all girl final harus menelan kekecewaan mereka.

"Indonesian Idol kehilangan suara rekaman terbaik dengan tersisihnya Gaby. Menurut saya, suaranya sangat komersial," kata Anang dalam jumpa pers seusai acara.

Baik Indra, Titi dan Jamie berpendapat serupa. Menurut Indra, sejak awal ia memang sudah memprediksi akan ada persaingan ketat antara Gaby dan Wilson. Rini yang bersuara spektakuler sudah diramalkan akan mampu melenggang mulus ke babak final. Sementara Gaby dan Wilson harus memperebutkan peluang yang tersisa.

Rasa tidak rela juga dirasakan Titi dan Jamie. Secara personal, keduanya mengaku berharap bahwa Gaby yang masuk ke babak final bersama Rini, bukan Wilson.

"Dari sisi performa, Gaby lebih unggul ketimbang Wilson. Apalagi saya juga mendambakan adanya all girl final," kata Titi.

Yah, harapan dan dambaan dewan juri, serta para pendukung setia Gaby, harus kandas di tengah jalan. Voting sms membuktikan sebaliknya. Wilson sebagai satu-satunya kontestan pria masih mampu unjuk gigi, menarik perhatian para pemirsa di rumah.

Sebagai sebuah ajang reality show, Indonesian Idol memang lebih banyak ditonton kaum hawa. Tak heran meski banyak mengalami kendala pada tenggorokan dan kurang menggigit kala tampil membawakan Barcelona milik Fariz RM, dukungan kepada Wilson tetap tak terbendung. Hal serupa pernah terjadi pada Delon dan Dirly, yang sama-sama dicerca juri namun mampu melaju ke babak grand final karena mampu menawan hati gadis-gadis penggemar berat Indonesian Idol di rumah.

Lantas, bagaimanakan peluang Wilson melawan si mungil Rini yang bersuara mengagumkan? Di atas kertas, para juri memprediksi, Rini yang pantas menyandang gelar juara. Bahkan Indra berkata, "Kamu pantas disandingkan dengan para pemenang ajang Idol dari negara lain."

Namun, karena ajang ini bukanlah ajang yang melulu berkiblat pada kualitas, melainkan popularitas dan polling sms, segala prediksi tadi bisa berbalik 180 derajat. Hanya dukungan pemirsa yang akan membuktikan siapa yang pantas menjadi idola Indonesia selanjutnya. Kita nantikan dua minggu lagi!
Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 [11] 12 13 14 15 16 17 18 19 20
View full version: KUMPULAN BERITA MUSIK INDONESIA PALING ANYAR


ADVERTISEMENT