View: 4331|Reply: 3
|
Daftar Nominasi Festival Film Indonesia 2009
[Copy link]
|
|
Post Last Edit by jf_pratama at 16-12-2009 16:35
Festival Film Indonesia (FFI) 2009 bakal digelar pada tanggal 16 Desember 2009 di Jakarta (Siaran Langsung di RCTI dan Global TV). Nah buat anda yang ingin tahu daftar nominasi FFI 2009 berikut akan saya berikan berikut di bawah.
Tapi sayang tidak semua film ikut FFI 2009 sebab banyak film tokoh-tokoh perfilman yang bergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) memboikot FFI ini sejak tahun 2008
Nominasi film terbaik :
Indentitas
Jamila dan Sang Presiden
Mereka Bilang Saya Monyet
Perempuan Berkalung Sorban
Ruma Maida
Nominasi Pemeran Wanita Terbaik :
Atiqah Hasiholan - Ruma Maida
Aty Kanser - Emak Ingin Naik Haji
Leony - Identitas
Revalina S Temat - Perempuan Berkalung Sorban
Titi Sjuman - Mereka Bilang Saya Monyet
Nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik :
Ayu Pratiwi - Emak Ingin Naik Haji
Henidar Amroe - Mereka Bilang Saya Monyet
Niniek L Karim - KCB 2
Widyawati - Perempuan Berkalung Sorban
Nominasi Pemain Pria Terbaik :
Tio Pakusadewo - Identitas
Emir Mahiri - Garuda di Dadaku
Reza Rahardian - Emak Ingin Naik Haji
Vino G Bastian - Serigala Terakhir
Yama Carlos - Ruma Maida
Nominasi Peran Pembantu Pria Terbaik :
Deddy Mizwar - KCB 2
Frans Tumbuan - Ruma Maida
Mamiek Prakoso - Garuda di Dadaku
Reza Rahardian - King
Verdy Sulaiman - Ruma Maida
Nominasi Penyutradaraan Terbaik :
Ari Kusumadewa - Identitas
Djenar Maesa Ayu - Mereka Bilang Saya Monyet
Hanung Bramantyo - Perempuan Berkalung Sorban
Ratna Sarumpaet - Jamila dan Sang Presiden
Teddy Soeriatmadja - Ruma Maida
Penata Musik Terbaik :
Aksan Syuman dan Titi Syuman - Garuda di Dadaku
Djaduk Ferianto - Jagad Kali Code
Aksan Syuman dan Titi Syuman - King
Bobi Suryadi - Ruma Maida
Arge Swara - Merah Putih
Penata Suara Terbaik :
Edo Sitanggang - Identitas
Iwan Akbar dan Edo Sitanggang - Emak Ingin Naik Haji
Satrio B dan Jajang Muslim - Jamila dan Sang Presiden
Hikmawan Santoso - Ruma Maida
Trisno dan H Santoso - Serigala Terakhir |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by jf_pratama at 16-12-2009 16:39
Ruma Maida - Kala Sejarah Menggugat
Saksikanlah film Ruma Maida. Film ini sungguh berani tampil di tengah dominasi film Indonesia yang sarat esek-esek dan kisah horor. Film ini melawan arus. Menarik, walau mungkin bukan mainstream. Film Ruma Maida bercerita tentang sejarah. Bukan sejarah sebagai catatan-catatan peristiwa atau tanggal (seperti yang kita pelajari pada bangku sekolah di Indonesia), tapi sejarah sebagai sebuah makna. Sebuah catatan akan realitas yang terus bergerak dan layak dipahami dengan baik.
Sejarah adalah kata yang “kering” di mata dunia pendidikan kita saat ini. Isinya melulu tentang tanggal dan hafalan tanpa makna. Ruma Maida mengingatkan kita akan keterlenaan bangsa ini dalam melihat sejarah. Di sini, kita mengenang ungkapan Milan Kundera, sastrawan Ceko, pemenang Nobel Kesusastraan. Ia berkata,”Langkah pertama untuk memusnahkan suatu bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu, bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan melupakannya lebih cepat”.
Kalimat Kundera ini saya renungkan berulang-ulang dan masih relevan dengan kondisi dan carut marut bangsa kita saat ini. Kita memang tak pernah belajar sejarah. Kita hanya menghafal sejarah. Lantas bagaimana sebuah sejarah dapat dituliskan kembali dan dikenang oleh generasi muda? Ruma Maida mencoba menuliskannya, tanpa harus terlihat mengajari. Film ini disutradarai oleh Teddy Soeriaatmadja dan naskahnya disusun oleh novelis Ayu Utami. Sebagaimana layaknya novel Ayu Utami, kisahnya penuh plot, flashback, dan maju mundur. Buat beberapa orang mungkin akan terlihat datar dan membosankan. Namun Teddy mampu menghadirkan gambar yang pas di film ini. Untuk kisah-kisah di masa lampau, pewarnaan sephia muncul dan terlihat lembut. Begitu cerita kembali ke masa kini, warna film dibuatnya lebih natural. Kesemuanya disusun artistik dan indah dirasa.
Ruma Maida bercerita tentang Maida (Atikah Siholan), seorang mahasiswi yang idealis. Maida diceritakan mengelola sekolah bagi anak jalanan di sebuah rumah tua yang terbengkalai. Pada suatu hari, seorang pengusaha bernama Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan) meng-klaim rumah itu dan hendak mengubahnya menjadi pusat bisnis. Dasaad adalah seorang rasionalis ekstrem yang menegasikan sejarah. Ia tak mau hidup di masa lampau. Hidup adalah masa kini dan ke depan. Persetan dengan sejarah. Akhirnya, Maida dan anak-anak jalanannya harus terusir dari rumah itu. Maida tentu tidak menerima begitu saja. Ia berjuang keras untuk mempertahankan rumah tersebut. Dan dalam perjuangan itu, Maida menemukan banyak cerita serta sejarah dari rumah tua itu.
Dari lompatan-lompatan cerita tersebut pulalah, kita melihat sebuah benang merah. Ada tiga hal yang dapat dijadikan permenungan dari film ini. Pertama, pentingnya pendidikan. Ruma Maida membawa cerita tentang pertarungan filosofis antara Soekarno dengan semangat Nation Buildingnya, dan Hatta yang ingin mengedepankan pendidikan sebagai strategi pembangunan bangsa Indonesia yang masih muda. Saat itu, pertarungan filosofis dimenangkan oleh Soekarno. Namun kini, pemikiran Hatta menjadi penting dan relevan. Pendidikan adalah modal dasar dalam sebuah pembangunan. Dan kita, jauh tertinggal dengan negeri tetangga.
Hal kedua, pentingnya sejarah sebagai sebuah catatan yang membawa makna. Hal ini terefleksikan dalam garapan skripsi Maida yang mengangkat kisah sejarah yang hidup dan bergerak. Ia menulis kehidupan pemilik rumah tua yang ditinggalinya. Kata-kata Maida di penutup film, menirukan Bung Karno, JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah, adalah sebuah ajakan untuk mengenal dan menyelami sejarah. Bukan menghafal.
Ketiga, film ini juga mengangkat sedikit pemahaman terhadap kekayaan architectural heritage bangsa kita. Ruma Maida mencoba untuk menyindir perilaku rakus dan serakah dari pemilik modal yang kerap menghancurkan bangunan tua demi kepentingan bisnis. Kota Bandung, Medan, Malang, Semarang, adalah kota-kota tua yang memiliki kekayaan arsitektur dan berisikan eksperimen para arsitek seperti Amsterdam School yang terkenal dengan Art Deconya. Tapi bangunan itu banyak yang dihancurkan demi kepentingan bisnis. Sungguh disayangkan. Kebiadaban pemodal itu mirip dengan perilaku Dasaad Muchlisin di film ini.
Film ini layak ditonton bagi anda yang menganggap dirinya beradab dan menghargai sejarah. Iringan soundtrack dari band Naif menambah syahdu cerita. Melalui aransemen ulang lagu-lagu seperti “Juwita malam”, “Di Bawah Sinar Bulan Purnama”, dan “Ibu Pertiwi”, plus satu lagu “Keroncong Tenggara” yang diciptakan Ayu Utami, film ini bertambah ciamik untuk ditonton.
Akhirnya pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah adalah bahwa masa lalu memang penuh kontestasi, dan kebenaran bisa jadi sekedar bangunan yang didirikan di atas perspektif dan motif-motif. Sejarah penuh misteri. Kebenaran kerap rapuh. Tapi mengenal sejarah, sangatlah penting. Seperti kata Gunter Grass dalam novelnya, The Crabwalk, saat kita melangkah mundur untuk mencari tahu tentang masa lalu, sesungguhnya kita sedang melangkah ke depan dan menafsirkan masa lalu itu dari perspektif kekinian. Ibarat jalan seekor kepiting. Dan di Ruma Maida, kepiting itu berjalan mundur untuk bergerak maju |
|
|
|
|
|
|
|
Film IDENTITAS
Adam, petugas kamar mayat di sebuah Rumah Sakit mempertanyakan soal "identitas"nya sebagai manusia akibat masa lalu kelam ayahnya. Sejak lahir dia telah kehilangan hak hidupnya. Dia merasa hidup justru pada saat ia bersama orang-orang mati Adam akhirnya jatuh cinta pada seorang perempuan tanpa nama. Dia merasa menemukan jati dirinya pada sosok perempuan itu sampai akhirnya dia mempertahankan hak hidup perempuan itu dari hak kematiannya
Pemain: Tio Pakusadewo, Leony Vh, Ray Sahetapy, Titi Sjuman, Otig Pakis, Teguh Esha
Sutradara: Aria Kusumadewa
Produksi: Tits Film Workshop
Akhirnya film indie bisa membuktikan eksistensinya di jalur mainstream. Oleh Aria Kusumadewa lewat film Identitas, film indie ini mulai diperkenalkan secara nasional, dengan cara yang berbeda.JIka sebelumnya Aria bergerilya dari kampus ke kampus atau lewat ajang festival, maka melalui film Identitas, Aria membawa ke jalur mainstream dengan menggandeng perusahaan film PT. Demi Gisela Citra Sinema dan Esa Films untuk memasuki industri perfilman nasional.
Saat ini komunitas indie sudah tumbuh di berbagai lapisan, mulai dari kalangan SMP sampai mahasiswa, bahkan dikalangan luar kampus. Aria patut dicatat sebagai salah seorang penggerak film indie melalui film-filmnya yang hanya diputar dari kampus ke kampus, seperti Film Beth, Novel Tanpa Huruf R, dan lainnya.
Menurut Aria meskipun Identitas masuk ke jalur mainstream, tapi film ini tetap bernapaskan indie yang mempertahankan idealisme dalam dirinya. Identitas menghadirkan realitas sosial yang diskriminatif, yang tidak berpihak pada orang kecil. Mulai dari obrolan di warung kopi, di pasar, di lokalisasi pinggir rel, diramu menjadi cerita yang menggugah kesadaran tentang hak hidup manusia termasuk hak matinya.
Menceritakan tentang seorang petugas kamar mayat di sebuah Rumah Sakti yang bernama Adam (Tio Pakusadewo). Ia menjadi orang yang introvert dilingkungan sekitarnya, namun berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda saat ia berada di tempat kerjanya. Dalam kesehariannya, Adam sering melihat sosok perempuan yang menarik perhatiannya di sekitar rumah sakit tempat ia bekerja. Seorang perempuan muda “tanpa nama” berwajah oriental ( Leony VH) yang berjuang untuk membiayai pengobatan ayahnya yang sedang dirawat di bangsal miskin rumah sakit. Tempat tinggalnya pun digusur, dan perempuan tersebut terpaksa melacur demi mencari biaya untuk perawatan ayahnya.
Perasaan kagum dan cinta yang tulus timbul pada diri Adam untuk menolong dan melindungi perempuan tanpa nama tersebut. Sepenuh hati Adam berusaha menyelamatkan perempuan itu dari dunia pelacuran untuk mendapatkan asuransi kesehatan warga miskin. Tapi semua itu terbentur karena masalah identitas perempuan tersebut.
Film yang dibintangi oleh Tio Pakusadewo, Leony V.H., Ray Sahetapy, Otis Pakis tersebut disutradarai langsung oleh Aria Kusumadewa dan didukung oleh TITS’S Film Workshop . Selain itu Dedy Mizwar juga menjadi Produser Eksekutif di film dengan budget 2 milyar ini |
|
|
|
|
|
|
|
Tak berminat nak tau la Indon. |
|
|
|
|
|
|
| |
|