CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

Author: cutestars

KKN DESA PENARI - based on true story by Simpleman (update: #20, #36, #37)

  [Copy link]
Post time 1-4-2021 01:22 PM From the mobile phone | Show all posts
Tq tt
Iols seram.sikit dengar muzik gamelan bagai neh
Mcm ada rasa something gitu..
Tapi iols suka...
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 1-4-2021 02:01 PM From the mobile phone | Show all posts
Cite seremm ke ni
Reply

Use magic Report

Post time 1-4-2021 02:20 PM From the mobile phone | Show all posts
Baru nak masuk kampung pun dah seram. Jauh ke dalam hutan tu
Reply

Use magic Report

Post time 1-4-2021 03:13 PM From the mobile phone | Show all posts
MissVixen replied at 1-4-2021 06:02 AM
Banyak cerita seram masa kkn. Duduk desa yang terpencil dan baru bukak, kadang2 pak desa tu letak bu ...

dulu belajar kat seberang ke? Kalau tak keberatan, kongsi la pengalaman masa belajar kat sana.
Reply

Use magic Report

Post time 1-4-2021 05:34 PM | Show all posts
MissVixen replied at 1-4-2021 06:02 AM
Banyak cerita seram masa kkn. Duduk desa yang terpencil dan baru bukak, kadang2 pak desa tu letak bu ...

Adoi.. pernah merasa ke?
tapi syok gak buat dengan member2.
sepupu den pernah join program petukaran pelajar, duduk sana dlm sebulan. tapi cerita dia best aje.

Reply

Use magic Report

Post time 1-4-2021 08:02 PM From the mobile phone | Show all posts
Jangan lambat2 nanti kami merusuh.  Dahaga cerita seram ni.
Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 1-4-2021 08:31 PM | Show all posts

Baca intro pun dah seram..


Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 12:01 AM From the mobile phone | Show all posts
Wah ni baru semangat nak berhujung minggu, ada cerita baru! Pantas yach TT
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 2-4-2021 03:04 AM From the mobile phone | Show all posts
Aku dh x sabo terus google crita ni.. panjanggg.. guna bhs jawa tp ada la translate bhs indon standard.. merinding kata org endon
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 10:24 AM | Show all posts
3480 replied at 2-4-2021 03:04 AM
Aku dh x sabo terus google crita ni.. panjanggg.. guna bhs jawa tp ada la translate bhs indon standa ...

Share plis. AKu carik tapi merata cite dia. Kat tweet dia pun bersambung2.
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 12:23 PM From the mobile phone | Show all posts
tompie replied at 2-4-2021 10:24 AM
Share plis. AKu carik tapi merata cite dia. Kat tweet dia pun bersambung2.

Ish x ingat plak yg mana.. aku main tekan ja.. byk versi cerita dia
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 01:26 PM | Show all posts
yes cerita baru.. pandai u olah TT.. seronok baca
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-4-2021 06:39 PM From the mobile phone | Show all posts
Hai korang TT baru sampai rumah..update is coming. Sabaq sat naa
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 07:49 PM From the mobile phone | Show all posts
Kata arini nak up dua bab??? Mane pegi tt eh...
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 08:40 PM From the mobile phone | Show all posts
cutestars replied at 2-4-2021 06:39 PM
Hai korang TT baru sampai rumah..update is coming. Sabaq sat naa

I'm waiting
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-4-2021 10:29 PM | Show all posts
"Ke sini!" teriak Ayu. Di sampingnya berdiri seorang lelaki berekspresi tenang dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas jawa ketimuran. Dia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi. (mrene rek)


"Kenalkan, ini Pak Prabu, ketua kampung kawan abang aku ni. Pak Prabu, ini kawan-kawan saya dari bandar yang nak KKN disini. Pak Prabu memperkenalkan diri dan bercerita tentang sejarah desanya. Di tengah dia bercerita, Widya pun bertanya kenapa kampung ini jauh ke pedalaman. (kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan)


Dengan tawa yang berbasa-basi, Pak Prabu menjawab, "Pedalaman macam mana maksud Mbak? Bukannya jarak ke jalan besar hanya 30 minit?" (pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok)


Tatapan bingung Widya disambut tatapan bertanya oleh semua temannya, seolah-olah pertanyaannya itu agak membingungkan.


"Mbaknya mungkin penat. Jadi, mari, aku hantar ke tempat dimana nanti kalian tinggal" sambung Pak Prabu amsih dengan senyum yang bersahaja. (mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal)


Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "Maksud kau apa, Wid? Kenapa kamu tanya seperti itu, buat aku segan je lah." (maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae)


Disitu, di tempat penginapan itu, Widya menyedari ada yang salah. Tempat menginap untuk lelaki adalah rumah yang dulunya seringkali dipakai untuk program klinik kesihatan, tapi sudah diubah sedemikian rupa. Meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada tempat tidur beralasakan tikar.


Sedangkan untuk perempuan, mereka harus menginap di salah satu rumah warga.


Di dalam kamar, Widya pun bertanya maksud ucapannya kepada Pak Prabu kerana sepanjang perjalanan yang dirasakan oleh Widya sendiri  itu lebih dari satu jam. Ayu membantah bahawa perjalanan tadi tidaklah selama itu. Anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebat. Nur, lebih memilih untuk diam."Tadi kau dengar ke tak waktu di jalan tadi ada suara orang memainkan gamelan?" sambung Widya lagi. (ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?)


"Apalagi, mungkin adalah tu orang buat kenduri," jawab Ayu dengan nada yang sedikit kesal. (apalagi yo paling onok hajatan lah, opo maneh)


Namun, berbeza dengan Ayu, Nur menatap Widya dengan pandangan yang ngeri.


Sambil berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini. Tidak mungkin ada kenduri dekat sini. Kalau kata orang zaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk." mendengar itu, Ayu sedikit bengang dan langsung menunding ke arah Nur untuk berhenti cakap yang bukan-bukan.(Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek)


"Nur, tolong jangan celupar. Bukan kau pun ikut sekali ke waktu kita periksa tempat ni? Ni, belum sehari ddah cakap benda yang bukan-bukan macam ni," Ayu bertambah kesal. (Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu)


Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.


Saat itu, Nur mengatakannya, "Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu, " katanya. (Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku).


"Masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi," tambah Nur. (masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau)


"Astaghfirullah..." kata Widya tidak percaya.


Nur menatap Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar. Widya hanya memeluk dan mencuba menenangkan Nur. Benar kata ibunya tempoh hari.


"Air selalu mengalir ke arah timur" (banyu semilir mlayu nang etan) yang memiliki makna bahawa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk. Dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur. Cerita Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit. Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini dia merasakan langsung pengalaman itu meski hanya sekadar suara. Berbeza dengan Nur, dia mengaku melihat yang tidak seharusnya dia lihat.


Mungkin Nur lebih sensitif. Memang sejak awal, Nur yang paling berbeza di antara yang lain, hanya dia seorang yang memakai tudung, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri. Nur yang paling alim kerana setahu Widya, Nur pernah bersekolah di sekolah pondok ternama di kota "J". Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.


"Nur, lebih baik kita rahsiakan hal ni. Nanti jadi tak sedap kalau sampai orang kampung dengar apalagi kita disini itu sebagai tetamu. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja, ok?" kata Widya masih menenangkan kawannya. (Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih)


Nur mengangguk meski enggan menjawab pertanyaan Widya. Dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu saja.


Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul. Sesuai janji Pak Prabu, hari ini mereka akan pusing-pusing di kampung, melihat semua program kerja yang sudah diajukan oleh Ayu tempoh hari, sekaligus meminta cadangan untuk program kerja individu yang harus dikerjakan oleh setiap anggota."Walaupun aku tinggal disini, aku juga dulu pernah kuliah. Sampai master lagi!" Pak Prabu cuba berbasa-basi lagi. Bahasa yang digunakan agak bercampuran Bahasa Indonesia dan jawa. (ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi)


Mendengar itu, Wahyu menyampuk. "Tu, tengok Pak Prabu. Walaupun rumahnya dekat kampung,dia pun belajar tau." (iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah)


Wahyu melanjutkan. "Pak Prabu ambil apa dulu? Perhutanan?" (bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?)


"Bukan. Pertanian," kata beliau santai.


"Eh, sini kan tak ada sawah. Macam mana tu?" tanya Wahyu lagi. (Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak)


"Habis tu kalau ambil pertanian, kena pergi ke sawah?" pintas Pak Prabu bersahaja.


Jawapan Pak Prabu spontan membuat tawa pecah. Widya melirik Nur, dia sudah ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.


Sampailah, mereka di checkpoint pertama. Sebuah kawasan kubur kampung.


******


Aneh.


Itu yang pertama kali difikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. Kerana di setiap batu nisa, ianya ditutupi dengan kain hitam.




Tanah perkuburan itu sendiri dikelilingi dengan pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya. Disana ada lengkap sesajen di depanya.





Nur yang tadi ikut ketawa, tiba-tiba menjadi diam. Dia menundukkan kepalanya, seolah-olah tidak mahu melihat sesuatu.


Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam fikiran Widya.


"Maaf Pak, tapi ini kenapa ya?" (ngapunten pak, niki nopo nggih kok)


Belum selesai Widya bicara, Pak Prabu memotongnya, "saya tau, apa yang kamu nak tanya? Mesti nak tanya, kenapa batu nisan ditutup dengan kain macam tu kan?" Widya mengangguk. Rombongan itu menatap Pak Prabu dnegan serius kecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil. "Ini namanya Sarkangso, kepercayaan orang sini. Jadi biar tahu, kalau ini kubur," terang Pak Prabu, yang jawapannya sama sekali tidak membuat mereka puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun perlahan, dengan sengaja menyindir. Namun Pak Prabu bisa mendengarnya."Orang bodoh pun boleh beza kubur dengan padang bola, Pak." (wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak)


Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam. Raut wajahnya berubah dan tak boleh diramal.


"Mintak-mintak kau ornag semua sedarlah dengan apa yang kau cakap." Ucapan Pk Prabu seperti mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan. Spontan, Bima langsung membalas dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon Pak Prabu.


******


"Silakan Pak, kita pergi tempat seterusnya," ujar Bima dengan sopan.


Tempat berikutnya adalah sinden (sebuah kolam, tempat air keluar dari tanah). Pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini boleh dijadikan program kerja paling menjanjikan. Tidak jauh dari sana ada sungai. Pak Prabu ingin Sinden dan sungai boleh dihubungkan dan jadi semacam jalan air. Tanpa terasa, hari sudah siang.





******


Ayu dan Widya sudah membuat peta semua yang Pak Prabu tunjukkan memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling diutamakan sampai yang paling akhir dikerjakan.


Namun, tetap saja selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan. Keganjilan yang paling ketara adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, dia melihat banyak sesajen yang diletakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang diletakkan disana, ditambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang. Ssetiap kali mahu bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahawa itu bukan hal yang bagus.


Nur, setelah dari Sinden, dia meminta izin kembali ke rumah kerana badannya tak sedap, Dengan sukarela, Bima yang menghantarkanya. Jadi, sesi pemerhatian hanya dilakukan oleh 4 orang saja. Kemudian, sampailah di checkpoint paling menakutkan.


Tapak tilas.





Kalau kata Pak Prabu, ada sebuah batas dimana rombongan anak-anak dilarang keras melintasi sebuah setapak jalan berhampiran itu. Di kiri kanan, ada kain merah lengkap diikat oleh janur kuning layaknya pernikahan "Kenapa tidak boleh, pak?" tanya Ayu penasaran.


Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawapan namun dia enggan mengatakannya.


"Itu adalah hutan belantara, tak ada apa-apa pun. Hanya takutnya kalau kalian kesana, hilang dan tersesat, macam mana?" jawab Pak Prabu walaupun jawapannya agak meragukan. (iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?)


Sekali lagi, jawapan itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. Namun, perasaanya merinding sewaktu melihat jalan setapak itu.

This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x

Rate

1

View Rating Log

Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 2-4-2021 11:00 PM | Show all posts
Sesi pemerhatian berakhir ketika Pak Prabu menghantar rombongan tadi dan kembali ke rumah beliau.

Ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, kerana mereka tidak jumpa bilik air di rumah yang mereka tempati. Rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satu pun yang punya kamar mandi. Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah kerana tiada bekalan air.

Tapi, Pak Prabu menjelaskan, dibahagian selatan Sinden, di samping sungai, ada sebuah bilik dengan kolah besar di dalamnya. Disana, boleh digunakan untuk mandi. Tidak berhenti disitu, Pak Prabu mengatakan bahawa, mulai hari ini, kolah di dalam bilik air itu akan dipastikan selalu terisi penuh terutama untuk mandi anak-anak perempuan.

Untuk lelaki, boleh mengisi air di timba dengan cara menimba air dari sungai. Semua anak tampak faham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.

Sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan sesi briefing dengan semua anggota lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.





Petang menjelang malam.

Nur sudah bangun. Saat itu juga, Widya memintanya untuk menghantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden. Awalnya Nur tampak tidak mau, tapi kerana dipaksa, akhirnya dia pun ikut dengan syarat Nur adalah yang pertama masuk bilik air. Widya setuju. Dia tak mahu berpikir yang bukan-bukan.

Selama perjalanan, dia melihat setiap rumah yang dilewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam).



Langit sudah merah dan setelah menempuh jarak yang agak jauh, akhirnya mereka sampai di Sinden. Bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil. Bezanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut. Akhirnya mereka menemukan bangunan bilik air yang dimaksudkan berhampiran dengan Sinden dekat sebuah pohon asam yang besar. Rendang tapi mengerikan.

Sempat ragu, tapi Widya bilang lanjut saja. Rupanya benar, ada kolah besar di dalam bilik itu.

Air juga sudah penuh di dalam kolah. Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatiannya. Di sampingnya, ada sesajen itu.





Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur. Setelah mencuba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sedar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri. Widya mengekori bau itu. Benar saja, di samping pohon asam itu pun ada sesajen-nya. Yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar.



Antara takut dan terkejut, Widya kembali ke pintu bilik. Dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur! Nur!" teriak Widya sambil mengetuk pintu kayu itu dengan keras. Anehnya, hening, tidak ada jawapan dari dalam. Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih. Lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.

Suara orang seperti sedang berkidung (kidung = menyanyikan lagu tradisional tembang Jawa)



Kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa. Suaranya sangat lembut. Lembut sekali seperti seorang biduan."Nur! Bukak, Nur! Bukak!" spontan Widya mengetuk pintu dengan lebih keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.

"Kenapa kau ni, Wid? tanay Nur kehairanan. (nyapo to, Wid?)

Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang ke dalam bilik. "Cepatlah mandi. Kau pulak jaga luar," Widya cuba mengawal air wajahnya yang ketakutan. (ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo)

Terkejut. Widya sudah ragu kerana melihat samping Bilik ada sesajen. Widya tidak tahu apa harus cerita ke Nur soal itu. Namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik lalu menutup pintu. Bahagian dalam bilik sangat lembab. Kayu bahagian dalamnya sudah berlumut hitam. Didepannya ada kolah besar. Setengah airnya sudah terpakai. Widya meraih gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dengan pemegang kayu jati yang diikat dengan rotan. Widya mulai membuka bajunya perlahan-lahan. Masih terngiang-ngiang nyanyian kidung tadi. Widya mencuri pandang ke sekeliling.

Ternyata, dia tidak sendiri.

Suasananya seperti ada sosok yang melihat dan mengamatinya, dari hujung rambut hingga hujung kaki. Sosok itu seperti wajah seorang wanita yang cantik jelita. Masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah itu. Dia berdiri di depan kolah, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badannya. Widya merasakan dingin air itu membilas badanya.

Sunyi. Sepi. Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulu roma merinding. Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap kali dia memejamkan mata, terbayang wajah cantik jelita itu sedang tersenyum memandangnya.

Siapa pemilik wajah cantik itu?

Kemudian, kidung itu terdengar lagi! Widya berhenti dan mengamati. Suara itu datang dari luar bilik, tempat Nur berdiri seorang diri. Apakah Nur yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu menancap keras di kepala Widya. Selesai mandi di petang itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang kepada Nur. Matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian dia bertanya. "Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?" (Nur, awakmu isok kidung jawa ya?)

Nur mengamati Widya. Kemudian, dia diam. Nur pergi tanpa menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan Widya. Dia seperti membawa rahsianya sendiri, tanpa mahu memcah rahsia itu.

******

Elektrik di desa ini menggunakan tenaga set generator. Jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati dan mesti diganti dengan petromax. Nur sudah tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progress untuk program esok hari.

Widya masih teringat kejadian petang tadi. Sebenarnya Widya mahu cerita, namun bila melihat respons Ayu kelmarin, sepertinya dia bakal dilahar dan berakhir dengan pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progress, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik."Tadi aku sama Bima check progres untuk pembuangan. Masa pusing-pusing tu, ingat tak dengan Tapak Tilas? Rupanya tak jauh dari situ, ada satu bangunan tua macam sanggar (sejenis panggung yang luas, selalu digunakan untuk menari)." (mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar)



Widya terdiam beberapa saat sambil menghadam cerita Ayu.

"Eh, bukan kita tak boleh pergi sana ke!?) tanya Widya. (Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!)

"Bukan aku, Bima yang ajak. Dia kata ada perempuan cantik. Bila pergi, tak ada pulak!" bela Ayu. (guguk aku, iku ngunu Bima sing ngajak. jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut'i, ra onok tibak ne)

"Lah. Tapi kau pergi jugak!?" ujar Widya lahi (lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!)

"Eh kau ni. Kan aku kejar Bima. Kalau dia hilang kang?" Ayu membela dirinya lagi. (cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang)

Perdebatan kecil mereka berhenti sampai disana. Namun perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menjejakkan kaki di desa ini, semuanya terasa seperti kacau-bilau.

This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report

Post time 2-4-2021 11:02 PM From the mobile phone | Show all posts
Tunggu sat tt.. satni lewat mlm bru nak baca.. ioollss suka feel sikit.. sunyi2 bru syiok baca... kuminnnggg
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-4-2021 11:02 PM | Show all posts
ok nah, baca before tidur. heheheheheh
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 2-4-2021 11:03 PM | Show all posts
jangan marah ya...kuikui..lewat sikit..penat gila harini
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

29-3-2024 09:21 AM GMT+8 , Processed in 0.244998 second(s), 45 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list