abgsedapmalam Publish time 8-10-2014 08:40 PM

KONSEP AL-NASAKH WA AL-MANSUKH DALAM MENGAMANDEMEN AGAMA-AGAMA PRA-ISLAM

MENGGUGAT KONSEP AL-NASAKH WA AL-MANSUKH DALAM MENGAMANDEMEN AGAMA-AGAMA PRA-ISLAM
oleh Sa'dullah Affandi

http://www.islamlib.com/images/455218_vlcsnap-2014-10-02-11h52m35s230.pngSebagai agama paling ”bontot”, Islam hadir bukan untuk mengamandemen agama terdahulu, kehadiran risalah yang dibawa Muḥammad saw. tersebut justru untuk mendukung, mengukuhkan, meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Menurut Ṭabāṭabā’ī, yang dianulir al-Qur’an bukan ajaran pokoknya. Sebagaimana dalam QS.al-Baqarah : 62; setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan melakukan amal shaleh akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Sikap tersebut didukung beberapa ulama yang menyatakan, bahwa Muhammad datang untuk melengkapi ajaran sebelumnya, dan bukan me-naskh-nya. Farid Esack, pemikir Muslim asal Afrika Selatan, mengingatkan bahwa pesan-pesan tentang Ahli Kitab dalam al-Qur’an, yang banyak membicarakan umat Yahudi dan Nasrani perlu dilihat dalam konteks formatif periode Mekkah dan Madinah waktu itu dan dipahami dalam bingkai pesan-pesan al-Qur’an sendiri dan prinsip-prinsip umum tentang ajaran moral.


Pengantar

Agama Islam, Yahudi, dan Kristen kerap digolongkan sebagai tiga agamaIbrahimi (AbrahamicReligions).Frithjof Schuon menjelaskan, bahwa agama monoteistis yang pada awalnya merupakan cabang kelompok agama Semit, yang berasal dari Abraham, kemudian berkembang menjadi dua cabang. Yakni keturunan Nabi Isḥak dan keturunan Nabi Ismail. Schuon melanjutkan bahwa pada zaman Nabi Musa monoteisme ini mengambil bentuk Yahudi. Di saat mulai lunturnya agama Abraham dikalangan keturunan Nabi Ismail, Musa-lah yang terus mengembangkan monoteisme tersebut. Musa menghubungkan monoteisme dengan bangsa Israel, yang karena itu menjadi pelindungnya.
Dari sisi persaudaraan, kekerabatan, dan persahabatan, menurut Said Aqil Sirodj, Islam dan Kristen sebenarnya masih satu trah dari Ibrahim. Menurutnya, bahwa agama Kristen lahir sebagai agama samawi melalui Nabi ‘īsa, sedangkan Islam melalui jalur Nabi Muḥammad Saw. Dua tokoh induk ini akan bertemu Ibrahim, apabila ditelusuri silsilahnya, yakni Nabi ‘īsa adalah keturunan Nabi Isḥaq, salah seorang putra Nabi Ibrahim yang kemudian menurunkan Bani Israil (bangsa Yahudi, putra-putri Ya’qūb). Sementara Nabi Muhammad adalah keturunan Ismā’īl, saudara seayah dengan Isḥaq, yang kemudian menurunkan bangsa Arab.
Semua agama Samawi mengklaim paling dekat dengan kepercayaan (millah)Ibrahim, jika Injil memberi predikat righteous(orang yang berbudi), maka al-Qur’an menyebutnya sebagai yang ḥanīf, yang tulus dan cenderung pada kebenaran(QS. Ali Imrān : 67-68). Klaim kepemilikan Ibrahim sebagaipatriarch(Bapak Monoteisme) oleh Yahudi dan Nasrani tidaklah berdasar, maka al-Qur’an menawarkan solusi pertikaian klaim tersebut secara simpatik, yaitu pencarian “titik temu” (kalimat sawā’) diantara mereka pada satu rumusan; “agama Ibrahim yang meng-Esa-kan Tuhan” (QS. Ali Imrān : 64). Said Aqil memperkuatnya dengan menyatakan; “bahwa pada hakikatnya semua agama memiliki kesempurnaan, karena ia menyimpan serta membawa visi dan misi Ilahiah yang berkenaan dengan capaian-capaian kesempurnaan manusia, baik secara individu maupun sosial.” Menurutnya, munculnya setiap agama di tengah situasi masyarakat memang membutuhkan pencerahan sehingga mampu membentuk ideal individu dan masyarakatpar excellence. Oleh karena itu, dalam konteks ini saja sebenarnya dapat disimpulkan tentang tidak adanya perbedaan yangdistingtif antar agama. Semua agama sama-sama berkehendak secara mulia untuk membawa manusia pada tingkat kualitas yanglebih tinggi dan membebaskan manusia dari keterperosokan, akibat kesalahan dalam menentukan langkahnya. Jadi, semua agama mempunyai kekuatan transformatif sebagai bentuk pengejawantahan dari misi profetis yang memang tersimpan lekat dalam eksistensi agama.
Kristen, misalnya, muncul sebagai upaya reformasi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada pemeluk agama Yahudi. Agama Kristen, dalam hal ini, juga sama-sama hendak melakukan pembenahan radikal terhadap kekisruhan yang terjadi dalam tubuh agama Yahudi. Walaupun demikian, ternyata agama Kristen pun mengalami suatu proses degradasi dengan terlihatnya pemitosan terhadap diri Yesus Kristus. Berarti di sini,yang terjadi adalah penyimpangan terhadap unsur monoteisme yang kemudian tertukar oleh unsur politeisme yang terlihat dengan penisbatan aspek kemanusiaan (nasūt) Yesus dengan aspek Ketuhanan (lahūt).
Kelonggaran sistem monoteisme dalam Kristen inilah yang kemudian mendapat teguran al-Qur’an. Kristen yang menyatakan adanya Trinitas dalam konsep teologinya; Tuhan adalah salah satu dari tiga QS. al-Māidah : 17 dan QS. al-Nisā’ : 171). Kata kufr dalam ayat ini, menggunakan bentuk lampau (fi’il māḍī) sebagai bentuk kekafiran terhadap pendirian bahwa Tuhan salah satu dari tiga. Hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muḥammad Saw, sesungguhnya juga hendak menyempurnakan segala kekurangan yang ada pada agama-agama sebelumnya itu. Secara teologis, Islam memperkuat monoteisme dengan menempatkan Tuhan bebas dari segala unsur antropomorfisme serta mengukuhkan Tuhan sebagai zat yang transenden (tanzih). Islam juga memperkuat aspek moralitas dengan meluruskan berbagai penyimpangan-penyimpangan moral dan meletakkan moral sebagai landasan utama dalam penegakan diri individu maupun masyarakat. Semboyan Islam ini dapat dibaca dalam pernyataan Nabi Muḥammad Saw., bahwa “Tidaklah aku utus kecuali untuk menyempurnakan kesesuaian akhlak.”
Dari ketiga pembawa risalah agama terbesar di dunia ini; Yahudi, Nasrani, dan Islam, baik secara genealogis-normatif maupun biologis-genetif semuanya bermuara pada Ibrahim. Mereka semuanya memandang Ibrahim sebagai ’Bapa Monoteis,’ ’Bapa Orang Beriman,’ dan sebagai ḥanīf yang Muslim’ (ḥanīfan muslimā). Pemeluk ketiga agama tersebut juga memiliki klaim yang sama sebagai penerus agama Ibrahim, meskipun pada saat yang lain mereka saling menegasikan. Dengan demikian, Ibrahim memiliki kedudukan yang unik dalam pandangan tiga agama tersebut. Kedudukan Ibrahim yang unik tersebut, menjadikan millah-nya, dipandang sebagai kerangka dasar yang dapat dijadikan acuan dalam mengevaluasi keberagamaan para pengklaimnya, baik dari orang Yahudi, Nasrani, maupun Islam.
Menariknya, dalam surat al-Naḥl: 123, Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan para pengikutnya (umat Islam) untuk mengikuti agama Ibrahim yang ḥanīf(millata Ibrāhīma ḥanīfā). Agama Ibrahim disebut dengan agama ḥanīf (dīnul ḥanīf). Nurcholish Madjid menyebutkan, Islamḥanīfadalah Islam yang penuh kelapangan, Islam yang universal dan berorientasi padakemanusiaan dan peradaban. Ḥanīf menurut Madjid merupakan idiom al-Qur’an yang berarti dorongan halus yang membisikkan kepada kebaikan yang bersumber dari hati nurani, ia juga merupakan kecendurungan dasar manusiawi yang mencintai dan mendorongnya kepada hal yang benar. Sementara Muthahhari menyebut Ibrahim sebagai seorang muslim yang bertauhid ‘amali danibadah.
Berangkat dari pemahaman tersebut, menurut Nurcholish Madjid (1939-2005 M) maka maksud al-Islām adalah sikap pasrah kepada Tuhan,bukanlah sebagai institusi. Keagamaan tanpa sikap kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati. Karena inti agama yang benar adalah kepasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Atas dasar itu semua agama sejak sebelum Nabi Muḥammad ju

AceHand Publish time 5-4-2022 06:28 PM

Adus...

[AceHand SPECTaceLAR]

Keciknya nak baca...


Jizzz... Klong! Klong!

Pages: [1]
View full version: KONSEP AL-NASAKH WA AL-MANSUKH DALAM MENGAMANDEMEN AGAMA-AGAMA PRA-ISLAM


ADVERTISEMENT