abgsedapmalam Publish time 7-7-2014 05:39 PM

Mengapa Saudi Mengangkat Menteri Syiah?


Mengapa Saudi Mengangkat Menteri Syiah?
Islam Times- Betapa hangus hati pimpinan Albayyinat, Ahmad bin Zen Alkaff, Thahir Alkaf, Muhammad Baharun, Fahmi Salim, Farid Okbah, Athian Ali, Bahtiar Nastir, Abu Jibril, atas pengangkatan menteri Syiah di makas besar penyebar kebencian atas Syiah?

http://www.islamtimes.org/images/docs/000397/n00397650-b.jpgAbdullah



Beberapa hari lalu terbetik kabar bahwa kerajaan Arab Saudi (baca, AS) untuk pertama kalinya mengangkat seorang Muslim Syiah sebagai menteri dalam pemerintahannya. Sejumlah media massa Timur Tengah kemudian menayangkan foto DR. Mohammad Abu Saq yang bermazhab Syiah tersebut. Abu Saq diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Dewan Permusyawaratan Negara menggantikan DR. Saud Almathami. Berita pengangkatan ini telah menghebohkan kawasan.

Kita semua sudah mafhum bahwa Kerajaan AS termasuk yang paling getol memusuhi dan memerangi Syiah di seluruh dunia. Alumni universitas-universitas AS juga 95% membenci bahkan mengkafirkan Syiah. Boleh jadi ada di antara mereka yang terpaksa memusuhinya demi kemudahan dan kelancaran studi, tapi sebagian terbesar memang menganggap Syiah di luar Islam. Di forum-forum internasional, pejabat-pejabat AS juga tak segan-segan memperlihatkan kebencian pada Iran. Menlu AS Saud Al-Faisal di mana-mana bicara negatif tentang Iran, meski tak pernah digubris atau ditanggapi serius oleh para pejabat negara Mullah tersebut.

Nah, mengapa sekarang tiba-tiba kerajaan AS mengangkat seorang menteri dari kalangan Syiah? Apakah ini pengakuan akan kekalahan? Atau kegagalan strategi? Atau sebuah rayuan? Atau apa? Apa kira-kira motif politik di balik pengangkatan ini?

Ada banyak spekulasi yang terlontar di kalangan pengamat. Rata-rata mengarah pada kesimpulan yang sama: AS mulai merasa khawatir dengan seabrek kegagalan strategisnya di kawasan. Di antaranya ialah kegagalannya memerangi Syiah di negerinya sendiri. Lebih tepatnya, di wilayah Provinsi Timur yang paling kaya minyak. AS juga gagal membekam aksi protes mayoritas rakyat Bahrain yang bermazhab Syiah terhadap kekuasaan keluarga Al Khalifa. Belum lagi kegagalannya menetralisir gerakan Anshar Allah yang lebih dikenal dengan Al-Houtsi di Yaman Utara yang berbatasan dengannya.

Tapi embahnya kegagalan AS (dan semua negara Arab di Teluk) adalah di Suriah dan Irak. Di kedua negara itu AS mencoba menggulirkan konflik bersenjata memakai proksi gerakan ekstremis yang digadang-gadang mendukung “kelompok Sunni” melawan dominasi rezim Syiah. Mula-mula AS dan media pendukungnya mengklaim bahwa mereka hanya mendukung rakyat Sunni yang tertindas di Dar’a menghadapi para penjagal seorang pemuda yang hendak menyuarakan haknya. Itu klaim mereka pada April 2011 lampau.

Tak lama berselang AS dan konco-konconya mengklaim mendukung kalangan aktivis mahasiswa yang hendak mewujudkan demokrasi di Suriah. Di belakang para mahasiswa ini ada sejumlah intelektual sekuler seperti Burhan Ghalyoun, Michel Kilo dan sebagainya. Selanjutnya, tiba-tiba saja mereka menyatakan mendukung kelompok pemberontak bersenjata yang menyebut dirinya Tentara Bebas Suriah (Free Syrian Army) yang konon merupakan eks prajurit yang ingin membangun demokrasi. AS dkk lantas memasok FSA dengan senjata untuk membela rakyat dari "kebrutalan" rezim Bashar Assad.

Tapi tidak lama setelahnya FSA pecah menjadi 2000 faksi dengan berbagai nama yang berbeda. Jika Anda punya cukup waktu Anda lihat sendiri nama-nama faksi mereka di internet—dan mungkin Anda akan terheran dengan produksi nama yang begitu banyak untuk jumlah yang begitu sedikit. Melihat betapa tidak efektifnya FSA ini, tak segan-segan mereka mobilisasi para begawan fatwa untuk mendaur ulang fatwa-fatwa jihad Afghanistan untuk konteks Suriah (dan kemudian Irak).

Pada saat ini, AS mulai pecah kongsi dengan Qatar dan Turki yang melihat ISIS sebagai ancaman. AS pun akhirnya memecah ISIS menjadi Front Islam (Al-Jabhah Al-Islamiyyah) dan Pasukan Islam (Jaish Al-Islam) pimpinan orang kepercayaan Saudi, Zahran Allousy. Pada saat yang sama, Qatar dan Turki lebih suka menyokong Abu Muhammad Al-Julani pimpinan Jabhat Al-Nushra. Walhasil, pecah kongsi ini bukan saja berakibat pada konstelasi politik di kawasan, tapi juga berdampak langsung pada situasi medan laga. Alih-alih bergandengan melawan Assad, faksi-faksi ekstremis Takfiri itu berakhir saling bunuh. Per awal Juni 2014 tidak kurang dari 15 ribu nyawa mereka melayang akibat saling bantai di antara mereka sendiri.

Sekarang, para produsen partai besar fatwa AS (dan Qatar) mulai melayangkan fatwa menentang ISIS dan Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadi. Adalah Yusuf Qardhawi yang pertama lantang menyatakan bahwa Kekhalifahan Abu Bakar Al-Baghdadi tidak sah menurut Islam. Alasannya, sebagian besar umat Islam menganggap ISIS sebagai organisasi ekstremis. Dan sungguh ironis bagi Qardhawi yang sempat terang-terangan meminta Amerika Serikat (AS yang satu lagi) untuk menggempur Assad justru menolak ISIS yang juga hendak menjatuhkan musuh bebuyutan yang sama.

Menghadapi segala rupa kegagalan politik, militer dan strategis ini, Arab Saudi (AS) tampaknya tak bisa lagi gagah-gagahan. Tak bisa lagi ia petantang-petenteng main remehkan kelompok lain, apalagi kelompok Syiah yang menduduki wilayah paling kaya minyak di kerajaan itu. AS sadar bahwa kegagalannya di Suriah, Irak dan berbagai negara lain akan segera jadi bumerang yang mematikan. Untuk itu, ia perlu segera mengamankan situasi domestiknya dan selama mungkin menggenggam secuil kekuasaan yang masih tersisa. Tentu saja, AS tak mungkin membuang segenap dampak kesalahan yang telah dilakukannya.

Tapi, setidaknya, seperti watak kekuasaan manapun, AS akan berusaha mempertahankan diri. Dan yang paling harus ia amankan adalah pekarangan dalam rumahnya sendiri. Itulah alasan seorang Muslim Syiah diangkat jadi menteri.

Masalahnya, langkah AS ini akan punya dampak serius di tempat lain, nun jauh di negeri tercinta kita Indonesia. Mengapa? Karena AS sebagai penyokong terbesar gerakan anti Syiah di dunia telah mengecewakan dan menyia-nyiakan bidak-bidaknya di Indonesia. Betapa hangus hati pimpinan Albayyinat, Ahmad bin Zen Alkaff, Thahir Alkaf, Muhammad Baharun, Fahmi Salim, Farid Okbah, Athian Ali, Bahtiar Nastir, Abu Jibril, atas pengangkatan menteri Syiah di makas besar penyebar kebencian atas Syiah? Apa yang akan meraka sampaikan kepada massa yang selama ini mendengar ocehan mereka bahwa Syiah kafir? Apakah mereka akan menyatakan bahwa AS telah mengangkat orang kafir sebagai menteri dengan alasan taqiyah? Apakah mereka akan mengatakan bahwa menteri non-Muslim boleh memimpin suatu kementerian di AS, dan diangkat langsung oleh Khadimul Haramayn? Ataukah mereka akan mengatakan bahwa AS dan seluruh ulama begawan fatwa di sana semuanya takut pada Syiah? Dan karenanya kalian juga harus takut? Ataukah ini sinyal positif bagi pemerintah Indonesia yang akan datang untuk memasang menteri dari kalangan Syiah, lantaran AS telah memberi teladan? Atau ini yang benar: kalian terus berjihad sampai titik darah penghabisan sementara kami keluarga mulia Al-Saud masih ingin berkuasa untuk beberapa saat lagi dan karenanya mau berkompromi dengan iblis terjelek sekalipun.

Wallau a’alam bishawab

AceHand Publish time 18-1-2021 01:20 AM

Errr...

[AceHand SPECTaceLAR]

Keciknya tulisang...


Jizzz... Klong! Klong!

Pages: [1]
View full version: Mengapa Saudi Mengangkat Menteri Syiah?


ADVERTISEMENT