jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:17 PM

INDONESIA - ART & CULTURE (News + Gallery)

Merah Biru Pencerahan Batik
BRE REDANA

Begitulah tangan Tuhan bekerja. Banyak orang heran, bagaimana kami bisamengerjakan ini semua. Jangankan mereka, kami sendiri saja heran denganapa yang kami capai ini.

Itukira-kira inti yang terungkap, kalau kita bicara dengan tiga ibu mudayang persahabatannya tumbuh di gereja, yakni Denny (42), Ho Ping (45),dan Inggrid (39), mengenai usaha batik yang tengah mereka kerjakandengan penuh antusias sekarang. Tiga wanita ini sedang dicerahkanhidupnya oleh batik. Batik mengubah perspektif mereka bukan hanyaterhadap mode, terhadap pakaian yang mereka kenakan sehari-hari, tetapijuga kehidupan.
Soreitu, ketiganya muncul di coffee shop sebuah hotel berbintang di kawasanMega Kuningan, Jakarta Pusat, dengan batik. Inggrid, yang datangterlebih dahulu, mengenakan rok terusan berbahan batik Lasem.

Warnanyacoklat kalem. Kemudian menyusul muncul Denny, dengan blouse cerahbernuansa merah, dari batik yang katanya khas Jambi. Setelah beberapawaktu, tergopoh-gopoh muncul wanita yang ketiga, Ho Ping, dengan batikyang katanya merupakan batik Indramayu.

Menggelutibatik dengan perusahaan yang mereka bikin, dhi7, yang belum genap satutahun (mereka mulai bulan April 2007), kini ketiganya mengaku kelabakanmelayani order. Padahal mereka bukan perancang. Mereka bukan pembatik.Mereka juga bukan penjahit. Mereka mengaku hanya menyenangi batik.

Dari Gereja

Awalnya,mereka ini hanya ingin penampilannya di gereja sebagai kelompok paduansuara kelihatan bagus. Berkreasilah mereka membuat seragam dari bahanbatik. Ketika batik itu mereka kenakan, teman-teman mereka katanyaterkesan, dan beberapa di antaranya meminta untuk dibikinkan.

Darimenerima pesanan teman-teman di lingkungan gereja, tanpa diduga usahamereka梥ebutlah "love affair" mereka dengan batik梑ergulir. Dalamrumusan berbeda-beda, mereka akan menyebut bahwa apa yang berlangsungitu adalah "kehendak Tuhan".

"Kami mengutamakan batik tulis, bukan batik cap," kata Inggrid.

Mulailahmereka melakukan perjalanan ke kota-kota kecil, seperti Pati, Juwana,Lasem (ketiganya di Jawa Tengah), Trenggalek, Tulungagung, Madura (JawaTimur), dan Cirebon, Indramayu (Jawa Barat), tak ketinggalan daerah Sumatera seperti Jambi.

"Kadangkami masuk hotel baru pukul 02.00 dini hari..." cerita Denny, denganditimpali oleh kedua temannya, bagaimana perjalanan mencari batik itusampai ke pelosok-pelosok yang jauh.

"Batikyang dikenakan Denny itu sebetulnya belum jadi," kata Inggrid menunjukblouse yang dikenakan Denny. Namun, dari batik yang seharusnya masihdiselesaikan oleh perajinnya di Jambi itu, mereka sudah punyaperkiraan, bahwa dengan model tertentu batik itu akan bagus di badan.

Perjalananmencari batik itu juga mengubah gaya hidup mereka. Kalau tadinya ketigawanita Jakarta ini pola liburannya adalah jalan-jalan ke luar negeri("...dan membuang uang," kata mereka), sekarang berkelana ke kota-kotakecil di Indonesia ("...untuk berkarya," kata mereka).

"Kamibukan desainer, kami bukan penjahit, kami bukan perajin. Dengan usahakami, kami bertumbuh bersama para perajin batik itu," kata Inggrid.

Bersamapara perajin batik di daerah, mereka maju bersama. Para perajin daribatik-batik yang bukan dari wilayah "mainstream batik" itu, padaperkembangannya katanya juga punya antusiasme terhadap usahanya, karenapesanan para nyonya kota besar ini. Usaha batik mereka menggeliat lagi.Beberapa di antaranya梜etika mereka kunjungi dalam kunjunganberikutnya

jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:25 PM

"Metissages" di Museum Nasional

Seni kontemporer selalu mencari cara untuk mengekspresikan dirinya. Karena itu mereka juga singgah pada materi yang melekat pada sejarah manusia: tekstil.

Di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, berlangsung pameran "Metissages, Penyerbukan Silang Kontemporer dan Tekstil" yang dikuratori Yves Sabourin dari Delegasi Seni Rupa di Perancis. Puluhan karya, seniman berbagai negara, termasuk tujuh dari Indonesia, disertakan dalam pameran ini.

Menurut Sabourin di dalam katalog, dua profesi tersebut hampir tak pernah bertemu, tetapi pameran ini memperlihatkan keduanya dapat berinteraksi menggali berbagai kemungkinan.

Melihat pameran yang dibuka Kamis (8/11) malam, pengunjung akan dibawa melihat berbagai karya dari tekstil yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan dapat dilakukan. Karya John Armleder (1999, Tanpa Judul) misalnya, merupakan kerja sama dengan pembuat sulaman renda begitu rupa sehingga memberi kesan seperti sebongkah otak manusia. Mona Hatoum menyajikan tutup kepala khas Timur Tengah, kafiyeh, dengan menyusun rambut asli sebagai pembentuk motif.

Dari Indonesia, Asmoro Damais menampilkan berbagai wayang golek dalam batik dan lurik dengan padu padan tidak biasa, seniman tekstil Harry Darsono menyuguhkan jaket dari beragam tekstil hasil kerja tangan dengan judul Na飗e, dan rangkaian jarum suntik insulin karya Wiyoga Muhardanto. Seni tradisional kain penutup mayat dari Papua, kain sarita, blus kaligrafi dari Rote, dan boneka Si Gale-gale koleksi Museum Nasional juga dipamerkan.

Pameran dibuka Dubes Perancis Catherine Boiveneau dan wakil dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, berlangsung sampai 23 November. (NMP)

[ Last edited byjf_pratama at 11-11-2007 05:26 PM ]

jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:28 PM

Otonomi Seniman di Ubud
BRE REDANA

Kita sampai pada satu titik di mana para seniman harus jujur pada diri sendiri. Anda mau mengerjakan untuk pasar (internasional) ataukah untuk diri sendiri?

Itu kata-kata Weng Ling, Direktur Shanghai Gallery of Art, seperti bisa kita baca dalam Time edisi 12 November 2007, yang menurunkan laporan utama mengenai "booming" seni rupa Asia. Saat ini memang sulit memisahkan kegiatan seni rupa梩erutama seni rupa yang mengambil bentuk kontemporer梩anpa dibayang-bayangi apa yang sedang terjadi saat ini di Asia, khususnya China.

Pande Wayan Suteja Neka, pendiri Museum Neka di Ubud, Bali, ketika membuka pameran bertema "Souls of Expressions" di TonyRaka Art Gallery, Ubud, Kamis (8/11) malam, juga menyinggung-nyinggung seni lukis China berikut pengaruhnya di Asia. "Ketika saya menyaksikan beberapa pasar lelang lukisan di Singapura, sangat terlihat bagaimana animo pasar telah berubah. Di mana karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia diterima antusias, bahkan menjadi primadona...," kata Neka. Banyak pendapat mengatakan, apa yang terjadi di Indonesia ini adalah imbas dari apa yang terjadi di China.

Sebenarnya, justru di situ letak persoalan seni rupa (kontemporer) Indonesia sekarang, mengingat sejarah seni rupa Indonesia kan tidak hanya ada dalam lima tahun terakhir.... Pameran di TonyRaka Art Gallery yang berlangsung pada 8-28 November 2007 diikuti delapan perupa: Entang Wiharso, Hanafi, Ipong Purnama Sidhi, Made Sumadiyasa, Nyoman Erawan, Putu Sutawijaya, Ugo Untoro, dan Yunizar.

Tentu publik seni rupa Indonesia tahu belaka, dari delapan perupa itu, beberapa di antaranya adalah nama-nama yang karyanya tengah menjadi "dagangan laris" di pasar seni rupa, termasuk di balai-balai lelang. Ibaratnya, karya satu-dua perupa di situ, cukup disebutkan ukurannya, tahun penciptaannya, bakal sudah ada spekulan yang bersedia membelinya.

Kegiatan-kegiatan seni rupa, termasuk pameran saat ini, sungguh sulit dipisahkan dari bayang-bayang pasar. Jangan buru-buru mencurigai pandangan seperti ini sebagai pandangan kapitalistik梞au mengukur apa-apa dari pasar. Seni berikut medium pengucapannya tidaklah berada dalam satu vacuum atau ruang kosong. Ekstremnya, karya seni juga sebuah produk sosial. Konsekuensinya, kadang tak terhindarkan manipulasi perupaan yang sifatnya "trendy"梞engikuti apa yang tengah menjadi "mode".

Otonom

Pameran di Ubud cukup relevan dibicarakan karena selain diikuti "hot items" dalam seni rupa dewasa ini, juga bingkai kuratorial yang tampaknya berhasrat membebaskan para seniman dari tekanan-tekanan baik pasar maupun ketentuan estetik tertentu. Wayan Kun Adnyana yang bertindak sebagai kurator mengatakan keyakinannya bahwa subyek cipta-mencipta adalah seniman. Sikap kuratorialnya katanya membebaskan perupa untuk berkarya sekehendak hati, menempatkan mereka sebagai makhluk otonom dalam hal cipta-mencipta.

Jalan kurasi seperti ini katanya juga sebagai upaya untuk mengambil jarak dari kecenderungan konsep kuratorial yang memosisikan perupa hanya sebagai "ilustrator" dari ide kurator, kolektor, dan lain-lain. "Bukankah kita cukup sering mendengar sebuah ide kurator tentang sesuatu hal, diterjemahkan oleh puluhan pelukis?" kata Kun dalam pengantar kuratorial.

Nah, dengan dibiarkan otonom itu, lalu apakah dengan sontak berbeda karya-karya delapan perupa ini dibandingkan dengan karya-karya mereka yang lain selama ini? Mereka merasa terbebas dari sebentuk pilihan mengikat, lalu dengan serta-merta menjadi manusia otonom dengan pilihan bebas?

Di sini sebenarnya kita sampai ke soal keniscayaan hidup. Artinya, benarkah hidup kita ini betul-betul bebas? Jangan-jangan benar yang dikatakan para filsuf zaman romantik: manusia lahir bebas, tapi terantai di mana-mana? Atau dalam pemahaman yang lebih dekat dengan praksis kehidupan sehari-hari di dunia penciptaan seni, memang benar, karya tidak lahir dari sebuah ruang kosong. Untuk sampai ke kehendak bebas adalah perjuangan terus-menerus.

Hanafi, dengan karya-karyanya semacam "Api di Balik Meja" ataupun "100 Tahun Jalan Lucky", masih melanjutkan pergulatannya dari karya-karyanya belakangan梱ang laris. Yakni, sapuan-sapuan warna di bidang besar, dengan komposisi yang dari segi bentuk dan rupa memang elok.

Lalu Made Sumadiyasa, melanjutkan pencariannya lewat spontanitas ungkapan perasaannya di kanvas, dengan coretan-coretan dan sabetan-sabetan spontan. Dalam pengakuannya, dia tidak terikat oleh kaidah, abstraksismenya harus ada figur atau tidak. Yang penting, bagaimana apa yang dalam dirinya terungkap.

Entang Wiharso, dengan kanvas yang di dalamnya seseorang seolah diajak membaca suatu tema. Ipong, mencoba merintis jalan untuk mencari kedalaman pada bentuk berbau pop yang makin dia kuasai. Sama seperti Nyoman Erawan, yang kespontanannya tetap memperlihatkan akar di mana dia bertumbuh. Yunizar dan Putu Sutawijaya berada di wilayah yang mereka nyaman, sreg, Yun dengan coretan liris pada karya "Tentang Rumput", dan Putu dengan eksplorasi pada bentuk tubuh yang penuh kedalaman.

Yang sangat menarik adalah Ugo Untoro. Karyanya berjudul "Homage to Fontana" maupun "Origami" memperlihatkan pergulatannya di dalam梡ada tingkatan seorang seniman yang memberi kesan benar-benar otonom.

Ini hanyalah pembacaan atas diri para seniman itu, dari luar. Selebihnya, tak ada yang lebih tahu daripada para seniman itu sendiri: seberapa jauh mereka jujur pada diri sendiri.

[ Last edited byjf_pratama at 11-11-2007 05:32 PM ]

jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:33 PM

Musik Bukan Pidato
Slamet A Sjukur

Untung saya komponis, Mas," kata saya kepada Otto Sidharta waktu istirahat "... maka saya tidak terpengaruh oleh interpretasi pemain." Bukan komposisi Otto yang mentah, tetapi rohnya tidak tertangkap pemain, mungkin karena latihannya kurang.

Enam karya dipentaskan oleh Ensemble Omega di Goethe Institut, Rabu (7/11), dalam rangka Festival Art Summit Indonesia 2007.

Diawali dengan karya Minori Miki, Time for Marimba, untuk solo marimba yang dikarang tahun 1968. Sebuah karya yang puitis, sengaja membatasi diri hanya dengan beberapa nada saja, diolah dengan berbagai permutasi dan berbagai kelembutan, sesekali mencuat semacam keganasan dalam hal dinamik, ritme, dan aksentuasi yang juga tetap puitis. Rasanya penyuguhan pemainnya lebih bagus dari komposisinya sendiri. Sayang, tidak bisa kita ketahui nama pemain marimba dan latar belakangnya, karena tidak ada buku acara sebagaimana mestinya sebuah festival yang inginnya internasional dan sekaligus ngetop (summit). Hanya lembaran secarik kertas fotokopian sekadar menyebutkan urutan acara malam itu. Itu pun karena akhirnya saya bilang kepada Goethe Institut yang menjadi penampung acara bahwa tidak ada buku acara untuk penonton, dalam waktu beberapa menit saja mereka dapat mengatasi masalah yang tidak lazim dan sebenarnya elementer sekali.

Karya kedua, Coloraturia (1966), sebuah komposisi Brian Ferneyhough untuk oboe dan piano. Sebagai pendengar, kita tinggal enaknya merasakan musik yang sangat ekspresif, padahal partiturnya sangat mengerikan karena semua ditulis teramat sangat detail sehingga mudah membuat pemain terjebak hanya pada kerumitan notasi dan tidak menangkap esensinya yang justru menghendaki agar musiknya terdengar wajar dan hidup. Sebuah karya luar biasa yang dibuat 41 tahun yang lalu dan tetap terasa hebat sampai sekarang, artinya tidak sesuai dengan harapan Art Summit Indonesia yang menuntut agar hanya karya-karya yang diciptakan tidak lebih dari tiga tahun yang lalu saja yang dipentaskan.

Siapa yang salah? Batasan 抲sia

jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:36 PM

Indonesian contemporary art stands out

Carla Bianpoen, Contributor, Singapore

Larasati and Borobudur October auctions in Singapore bode well for contemporary Indonesian and SE Asian artists.

Larasati and Borobudur, who had their 10th Singapore auction on Oct. 21, this time jumped into the extraordinary by having the 470 x 200 x 145 cm, 250-300 kg, stainless steel sculpture by Indonesian Pintor Sirait as their star lot.

Never before had there been a sculpture of this proportion in an auction, so it was quite a gamble, but their effort reaped great success.

The Formula 1 inspired sculpture named Desire fetched SGD 95,000 hammer price -- or SGD 112,100 hammer price plus plus. Other highlights included the Indian Manohar Rathod's Circus of Life which sold for SGD 68,000 -- three times its highest estimate, and Singaporean Jimmy Ong's Left 1/2, charcoal on paper, which sold for SGD 95,000, almost eight times the expected bid.

Also Korean sculptor Yi Hwan-Kwon's work of fiberglass-reinforced plastic titled Windy Day fetched SGD 55,000 hammer price after tense bidding. But it is Indonesian I Nyoman Masriadi's work Mob Culture which pulled SGD 177,000 hammer price that was one of the scene stealers. Masriadi's other paintings also doubled or tripled their high estimates.

I Nyoman Masriadi also fetched high prices in Borobudur's first SE Asian Contemporary Art auction held on Oct 28. Manusia Batu (2001-2002) sold for SGD 155,000, and Silent(2002) for SGD 135,000 hammer price.

A painting featuring sweet ladies -- entirely different from his usual muscled figures -- titled I Love You (2004) went for SGD 100,000 hammer price. But even higher prices were fetched by his fellow countryman Putu Sutawijaya, whose Silent Road (2007) sold for SGD 290,000, almost ten times its estimate!

Another Indonesian artist, Handiwirman Saputra, made SGD 110,000 with his Pose No. 5 Sofa. Other Indonesian artists in demand were Agus Suwage, Rudi Mantofani, Jumaldi Alfi, Budi Kustarto, with paintings that went for double or triple the estimates.

Meanwhile, Thai artist Natee Utarit fetched SGD 45,000 for his painting The Last Description for the Old Romantic, about three times its estimate; Filipino Nona Garcia's Ode to Wonderland was sold for SGD 34,000, five times its estimate.

Excitingly, installations like Jakapan Vilasineekul's Ancesttor and Mella Jaarsma's Shameless Gold I, II, III of the Moral Pointers Series sold for SGD 28,000 and SGD 17,000 respectively.

Remarkably the Affandis, Hendra Gunawans and Lee Man Fongs -- usually high on the collectors' lists -- sold for less than predicted in Borobudur's SE Asian Fine Art auction on Oct. 27. But Affandi's Duck's Farmer sold for SGD 320,000, which was almost twice its estimate.

Although Borobudur's Chinese Contemporary and Modern Art Auction held on 28 October lacked the excitement of its previous auction -- perhaps due to too many mediocre lots -- excitement finally emerged when Zhang Huan's Family Tree went up for bid.

Consisting of nine pieces of C print of 127 x 102 cm, the photographic series comprises nine sequential images. They all feature the face of Zhang Huan, the physical trace of his lineage.

Covered by a thick layer Chinese calligraphic signs consisting of family names and stories -- a process that required three calligraphers and a stream of familiar names, personal stories, and other tales -- the work evoked a lively bidding, ultimately fetching SGD 520,000 hammer price.

Noteworthy is that Indonesian buyers no longer dominate the local market. New buyers came from Malaysia, Singapore, China, the Philippines, Taiwan and the UK. It will be interesting to see how the next auctions fares.

Larasati's Daniel Komala predicts that "the growth in the Asian modern and contemporary art market will continue." Valentine Willie who teamed up with Borobudur for its SE Asian Contemporary auction is also optimistic and will continue to work with them in the future.

jf_pratama Publish time 11-11-2007 06:36 PM

Indonesian contemporary art stands out
Carla Bianpoen, Contributor, Singapore

Larasati and Borobudur October auctions in Singapore bode well for contemporary Indonesian and SE Asian artists.

Larasati and Borobudur, who had their 10th Singapore auction on Oct. 21, this time jumped into the extraordinary by having the 470 x 200 x 145 cm, 250-300 kg, stainless steel sculpture by Indonesian Pintor Sirait as their star lot.

Never before had there been a sculpture of this proportion in an auction, so it was quite a gamble, but their effort reaped great success.

The Formula 1 inspired sculpture named Desire fetched SGD 95,000 hammer price -- or SGD 112,100 hammer price plus plus. Other highlights included the Indian Manohar Rathod's Circus of Life which sold for SGD 68,000 -- three times its highest estimate, and Singaporean Jimmy Ong's Left 1/2, charcoal on paper, which sold for SGD 95,000, almost eight times the expected bid.

Also Korean sculptor Yi Hwan-Kwon's work of fiberglass-reinforced plastic titled Windy Day fetched SGD 55,000 hammer price after tense bidding. But it is Indonesian I Nyoman Masriadi's work Mob Culture which pulled SGD 177,000 hammer price that was one of the scene stealers. Masriadi's other paintings also doubled or tripled their high estimates.

I Nyoman Masriadi also fetched high prices in Borobudur's first SE Asian Contemporary Art auction held on Oct 28. Manusia Batu (2001-2002) sold for SGD 155,000, and Silent(2002) for SGD 135,000 hammer price.

A painting featuring sweet ladies -- entirely different from his usual muscled figures -- titled I Love You (2004) went for SGD 100,000 hammer price. But even higher prices were fetched by his fellow countryman Putu Sutawijaya, whose Silent Road (2007) sold for SGD 290,000, almost ten times its estimate!

Another Indonesian artist, Handiwirman Saputra, made SGD 110,000 with his Pose No. 5 Sofa. Other Indonesian artists in demand were Agus Suwage, Rudi Mantofani, Jumaldi Alfi, Budi Kustarto, with paintings that went for double or triple the estimates.

Meanwhile, Thai artist Natee Utarit fetched SGD 45,000 for his painting The Last Description for the Old Romantic, about three times its estimate; Filipino Nona Garcia's Ode to Wonderland was sold for SGD 34,000, five times its estimate.

Excitingly, installations like Jakapan Vilasineekul's Ancesttor and Mella Jaarsma's Shameless Gold I, II, III of the Moral Pointers Series sold for SGD 28,000 and SGD 17,000 respectively.

Remarkably the Affandis, Hendra Gunawans and Lee Man Fongs -- usually high on the collectors' lists -- sold for less than predicted in Borobudur's SE Asian Fine Art auction on Oct. 27. But Affandi's Duck's Farmer sold for SGD 320,000, which was almost twice its estimate.

Although Borobudur's Chinese Contemporary and Modern Art Auction held on 28 October lacked the excitement of its previous auction -- perhaps due to too many mediocre lots -- excitement finally emerged when Zhang Huan's Family Tree went up for bid.

Consisting of nine pieces of C print of 127 x 102 cm, the photographic series comprises nine sequential images. They all feature the face of Zhang Huan, the physical trace of his lineage.

Covered by a thick layer Chinese calligraphic signs consisting of family names and stories -- a process that required three calligraphers and a stream of familiar names, personal stories, and other tales -- the work evoked a lively bidding, ultimately fetching SGD 520,000 hammer price.

Noteworthy is that Indonesian buyers no longer dominate the local market. New buyers came from Malaysia, Singapore, China, the Philippines, Taiwan and the UK. It will be interesting to see how the next auctions fares.

Larasati's Daniel Komala predicts that "the growth in the Asian modern and contemporary art market will continue." Valentine Willie who teamed up with Borobudur for its SE Asian Contemporary auction is also optimistic and will continue to work with them in the future.

[ Last edited byjf_pratama at 11-11-2007 05:38 PM ]
Pages: [1]
View full version: INDONESIA - ART & CULTURE (News + Gallery)


ADVERTISEMENT